Mohon tunggu...
AARON DAVID
AARON DAVID Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Parliamentary Threshold dan Sikap Partai Politik di Indonesia: Sudah Demokratis?

31 Mei 2022   16:15 Diperbarui: 31 Mei 2022   16:19 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parliamentary Threshold memang seakan-akan membatasi demokrasi melalui pembatasan partai yang akan merepresentasikan masyarakat di DPR, namun kehadiran Parliamentary Threshold  akan memaksa setiap anggota dewan untuk berperan aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dikarenakan pada saat pemilu reputasi dan kualitas sebuah partai sangat diperhatikan melalui ambang batas parlemen yang mencegah partai yang tidak dikenal masyarakat luas hingga kualitas yang masih dipertanyakan untuk menduduki parlemen (Adiwira, 2020). 

Yang kedua, untuk membangun kestabilan politik dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Salah satu upaya untuk meraih kestabilan tersebut adalah dengan membatasi jumlah partai politik yang jika berlebihan akan menghasilkan faksi-faksi yang sangat banyak yang akan berujung pada ketidakefektifan pemerintahan yang ada dikarenakan lembaga eksekutif tidak akan mampu bekerja sama dengan lembaga legislatif dengan baik yang disebabkan oleh terlalu banyaknya perbedaan kepentingan yang akan menghambat kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi-fungsinya seperti stagnansi dalam perumusan sebuah peraturan perundang-undangan yang dilakukan bersama pemerintah. Ketidakstabilan politik tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan, namun juga kasus-kasus penyimpangan seperti korupsi yang lebih rawan terjadi akibat jumlah partai yang berlebihan. Terlebih jika kebanyakan partai-partai tersebut adalah partai baru yang kualitas anggotanya masih dipertanyakan. Maka daripada itu, penyederhanaan partai melalui Parliamentary Threshold juga diharapkan mampu menanggulangi maraknya kasus korupsi di parlemen yang akan menciptakan ketidakstabilan politik.

Meski demikian, konsep Parliamentary Threshold tidak dapat dilepaskan dari berbagai kritik yang menghantuinya. Beberapa ahli termasuk partai-partai politik mengkritik implementasi Parliamentary Threshold, apalagi terhadap wacana Parliamentary Threshold yang akan ditingkatkan sebesar 5%. Kritik-kritik tesebut dapat diuraikan menjadi beberapa poin, yang pertama yakni akan menyebabkan banyaknya suara masyarakat yang telah diperoleh partai politik yang hangus begitu saja dalam pemilihan umum. 

Tujuan penerapan ambang batas parlemen untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil dinilai cacat. Hal tersebut disebabkan oleh konsep Parliamentary Threshold yang memang mengharuskan partai politik tertentu untuk merelakan seluruh dukungan konstituennya melalui jumlah suara yang terkumpul dengan sia-sia jika jumlah tersebut tidak mampu melewati ambang batas yang telah ditetapkan. Hal ini justru membuat konsep Parliamentary Threshold bertentangan dengan prinsip demokrasi karena baik calon wakil maupun masyarakat yang memilihnya merasa tidak dianggap dalam pesta demokrasi tersebut yang membuat sebagian kedaulatan rakyat tidak terwujud. 

Terlebih dalam sistem kepartaian Indonesia yang multipartai yang selaras dengan dinamika kependudukan Indonesia yang multikultural, maka penerapan Parliamentary Threshold dinilai tidak mengimplementasi nilai-nilai sistem perwakilan politik sesungguhnya yakni representatif. Kritik yang kedua juga datang dari perspektif komposisi parlemen yang ditakutkan hanya akan diisi atau didominasi oleh partai-partai besar saja. 

Konsep ambang batas parlemen ini dinilai menyulitkan bagi partai-partai baru maupun partai-partai berukurang sedang hingga kecil yang sedang berusaha untuk menjadi wakil rakyat yang demokratis namun belum memiliki dukungan dari masyarakat yang memadai untuk membuktikan niat mereka. Dengan kata lain, Parliamentary Threshold seakan-akan menghapus kesempatan berbagai partai begitu saja. 

Kritik ini juga mengkhawatirkan konsep ambang batas parlemen akan mengembalikan sistem kepartaian Indonesia seperti pada masa Orde Baru dimana parlemen hanya diisi oleh partai-partai besar ataupun partai yang mempunyai kekuasaan yang besar yang akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan politik kembali. Kritik yang ketiga disini mencoba melawan argumen pendukung Parliamentary Threshold yang beranggapan bahwa Parliamentary Threshold merupakan cara yang tepat untuk menyederhanakan partai di parlemen. 

Para kritikus disini beranggapan bahwa Parliamentary Threshold justru tidak tepat untuk menyederhanakan komposisi partai karena konsep tersebut merupakan konsep yang dicetuskan dan dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan para partai besar dan mengorbankan partai-partai kecil dikarenakan juga dalam proses pengambilan keputusannya, bahkan partai kecil yang berhasil menduduki parlemen tidak akan berdaya melawan kekuatan partai besar di parlemen (Aji & Indrawan, 2019). 

\Sehingga bisa dikatakan banyak yang menilai bahwa Parliamentary Threshold merupakan produk kompromi di antara elit-elit politik. Yang keempat, dengan diterapkannya ambang batas parlemen ini, maka dapat menyebabkan pragmatisme politik melalui praktik politik uang dan oligarki yang akan semakin subur (Paat, 2020). 

Berbagai celah akan timbul untuk 'memfasilitasi' praktik yang menyimpang tersebut. Seperti dalam proses pemilu, agar suatu partai dapat melewati ambang batas parlemen maka ia harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat yang kemudian tidak jarang ditemukan praktik suap seperti pembelian suara masyarakat oleh oknum partai tertentu. Begitu pula batasan-batasan ideologi dan kelembagaan partai yang akan semakin kabur hanya demi memuaskan aspirasi masyarakat seluas-luasnya agar melewati ambang batas. 

Parliamentary Threshold juga mampu mendorong koalisi dan fusi partai-partai politik tertentu yang tentunya tidak dapat dimungkiri berpotensi untuk terjadinya politik uang dan penguatan oligarki. Yang kelima, Parliamentary Threshold dan angkanya yang semakin meningkat ini dinilai akan semakin menghasilkan pemilihan umum yang tidak proporsional yang disebabkan oleh ketimpangan perolehan suara suatu partai dengan perolehan kursi di DPR. Yang keenam, indeks effective nimber of parliamentary parties (ENPP) mengukur bahwa sistem kepartaian lebih ditentukan oleh jumlah partai relevan ketimbang jumlah riil partai dan konsep ambang batas parlemen hanya berguna dalam mengurangi jumlah riil sehingga bisa dikatakan ambang batas parlemen dinilai gagal menyederhanakan sistem kepartaian. Di Indonesia kegagalan tersebut dibuktikan melalui analisis hasil pemilu 1999-2009 yang menghubungkan penerapan ambang batas dengan jumlah partai di parlemen dengan indeks ENPP yang membuktikan ketidakefektifan penerapan ambang batas dalam menyederhanakan sistem kepartaian (Maharddhika, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun