"T-tapi," kataku gugup.
"Cepat temui dia, Gun!"
Aku langsung beranjak pergi, meskipun masih belum mengerti maksud dari Reva tadi. Perkataannya benar-benar sulit dicerna. Mengapa aku harus menemui Maudy, di saat ia sedang bahagia bertemu pria dambaannya. Untung saja aku tahu di mana tempat pertemuan Maudy dan Julian, kupacu dengan cepat menggunakan sepeda motor.
Hujan akhirnya turun ketika aku baru saja sampai di sebuah kafe, tempat Maudy dan Julian bertemu. Aku berlari masuk ke dalam mencari Maudy. Kutelusuri segala penjuru, namun belum kutemui dirinya. Hingga aku temukan dia sendirian di meja yang terletak di balkon atas, sedang menangis.
"Maudy!" panggilku.
Ia terkejut dengan kehadiranku. "Loh, Guntur?" ucapnya sembari menghapus air mata.
"Kamu menangis? Mana Julian? Bukankah kamu bertemu dengannya hari ini?" tanyaku mencoba mendapat penjelasan darinya.
Belum sempat kudapat jawaban darinya, kulihat ada sebuah undangan pernikahan di dekat Maudy. Di sana tertulis nama Julian dan seorang wanita. Aku paham. Maudy menangis karena hal ini, dan mengerti sebab ia menangis dan sendirian di sini.
"Julian mau...." katanya tak kuat melanjutkan.
Kupeluk dirinya. Seketika itu pula air matanya kembali tumpah. Tangisnya semakin mengalahkan hujan di luar.
"Setelah hujan reda, saya antar kamu pulang, ya," bisikku.