Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Journalism Zone - Series 2

19 Juli 2024   11:12 Diperbarui: 19 Juli 2024   11:39 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertemuan yang kutunggu belum datang juga, sudah sebulan lamanya aku menantikan itu. Maudy yang sedang bertugas di Bandung membuat kami tidak dapat bertemu dahulu. Namun, pertemuan virtual sering kami lakukan sebelum pergi tidur. Topik pembicaraan kami meluas ke minatnya pada tulisan fiksi, yang katanya sudah menulis puluhan cerita pendek, namun belum ada satu pun yang dikirimnya ke penerbit.

Selain itu, biasanya kami juga saling bertukar pendapat mengenai kejadian yang sedang terjadi untuk mendapatkan tulisan yang independen---sesuai kode etik jurnalistik. Kusadari bahwa seringnya kami berkomunikasi membuat perasaanku kepadanya terus bertumbuh. Aku jatuh cinta dengannya. Padahal, selama bertahun-tahun sulit untuk menjatuhkan hati pada wanita lain.

Sepulangnya Maudy dari Bandung, aku langsung mengajaknya bertemu. Kali ini, aku yang menentukan tempat. Meski awalnya sulit untuk berdiskusi perihal waktu karena kesibukan kami di dunia jurnalis, namun hal tersebut terus kuupayakan agar terwujud.

Satu minggu kemudian, pertemuan itu disepakati. Seusai meliputi di daerah Sudirman, aku menganjak Maudy bertemu di daerah Jakarta Utara menggunakan KRL untuk bisa sampai ke tempat yang disepakati. Jakarta International Stadium, sebuah stadion megah internasional yang dibangun oleh Anies Baswedan, saat masih menjabat sebagai Wali Kota DKI Jakarta.

"Ini ada oleh-oleh untukmu," ujar Maudy memberikan sesuatu yang dibelinya dari Bandung untukku.

"Apa ini?" tanyaku.

"Hanya gantungan kunci saja, Gun."

Aku baru sadar bahwa mata Maudy memerah seperti habis menangis. "Matamu merah? Habis nangis, ya?"

"Hah?" Ia mengucek matanya. "Tidak. Ini tadi kelilipan waktu jalan ke sini."

"Kamu tidak sedang berbohong, 'kan? Kalau ada yang ingin diceritakan, saya siap menjadi pendengar."

Maudy menghela napas. "Jadi, sewaktu di Bandung, aku ketemu sama pria yang kusukai. Dia temanku waktu SMA, sekarang sudah kerja di sebuah perusahaan otomotif di Bandung."

"Seharusnya kamu senang, dong, bukan sedih!?" cetusku sedikit memotong.

"Aku sedang berusaha melupakan dia, sudah hampir bertahun-tahun kurasa berhasil. Eh, malah ketemu lagi di Bandung. Lalu, tadi sebelum ke sini, aku berpapasan di Stasiun Pasar Senen dengannya. Dia menggandeng seorang wanita, yang kurasa itu pacarnya."

"Yakin kalo wanita itu pacarnya?" tanyaku.

Ia mengangguk pelan, tak lama meneteskan kembali air matanya. Aku yang tak tega melihatnya mengelus bahunya, tak kusangka ia malah menyandarkan kepalanya ke bahuku.

"Udah jangan dipikirin lagi, ya," kataku mencoba menghibur.

Untuk menenangkan pikirannya, aku mengajaknya berkeliling stadion. Kubeli sepotong es krim untuknya. Setelah itu, kami menikmati es krim bersama sembari melihat beberapa orang sedang jogging mengitari stadion megah ini.

"Gun, aku lapar, nih. Kita makan, yuk!" ajak Maudy.

"Ayo. Saya juga sudah lapar. Kita makan di sana, ada menu favorit saya," ujarku.

Ketika makan, kulihat Maudy lebih lepas. Senyum manisnya terlukis lagi, matanya sudah tidak bengkak, dan selalu tertawa ketika aku bersenda gurau. Seusai makan, Maudy berkata ingin pulang karena sudah sangat lelah. Awalnya kuingin ulur agar masih bisa berdua dengannya hari ini, namun melihatnya aku tak sanggup.

***

Akhir-akhir Maudy lebih sering bercerita mengenai Julian, lelaki yang ditaksirkan sedari SMA. Katanya, lelaki itu adalah lelaki yang bisa meluluhkan hatinya di saat dirinya sedang patah hati. Julian adalah sosok yang sempurna baginya, tak dapat ditandingi. Hal itu membuat diriku menciut mendengarnya, walaupun gejolakku ingin membuktikan pada Maudy bahwa akulah yang seharusnya kini ditaksirnya.

"Gun, ternyata wanita yang aku lihat tempo hari bersama Julian itu sepupunya," jelasnya lewat telepon.

"Apa kubilang, 'kan," ucapku.

"Kemarin dia telepon aku untuk ngajak ketemuan. Kangen katanya. Besok malam, aku akan bertemu dengannya di kafe dekat-dekat sini, Gun," ungkapnya.

Sejujurnya aku merasa cemburu ketika ia bilang akan bertemu dengan Julian. Padahal, aku sudah merencanakan sesuatu untuknya. Namun, setelah mendengarnya aku mengurungkan niat itu. Kulihat ia sangat senang menanti pertemuan itu, aku hanya bisa tersenyum melihatnya senang. Entah sampai kapan aku menyembunyikan perasaan ini kepadanya. Mungkin tidak akan pernah. Semoga saja ada waktu untuk itu.

"Kira-kira aku pakai baju apa, ya?" tanya Maudy. "Aku ingin terlihat cantik di hadapannya."

"Pakai apa saja kamu tetap cantik," jawabku tersenyum.

"Itu menyindir atau apa, ya?"

"Aku tidak menyindir. Kamu memang cantik pakai baju apa saja. Percayalah pada dirimu."

Maudy menatap langit seolah ia sedang berpikir. "Kamu mau temaniku bersiap untuk pertemuanku dengan Julian?"

"Menemani ke mana?"

"Beli baju dan sebagainya. Aku ingin bersolek untuknya karena sudah lama tidak bertemu dengannya."

"Baiklah. Aku akan selalu ingin menemanimu ke mana saja," kataku berpura-pura tidak terluka.

Walaupun sebenarnya aku malas untuk menemaninya, tapi aku ingin selalu ada untuk Maudy. Akhirnya aku dan Maudy berjanjian bertemu di sebuah mall. Di sana aku berusaha menutupi kecemburuan yang sedang kualami. Aku benar-benar hanya menemaninya, tidak bercengkrama apa pun karena Maudy sibuk dengan 'dunianya' sendiri.

"Ini bagus banget modelnya, tapi kalo aku pakai ini cocok, nggak?" tanya Maudy kepadaku.

"Cocok," ucapku singkat.

"Kamu nggak suka, ya, nemenin aku?"

"Suka, kok."

"Dari tadi kamu diam aja, nggak ngomong apa-apa soalnya."

"Itu pikiran kamu aja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun