"Seharusnya kamu senang, dong, bukan sedih!?" cetusku sedikit memotong.
"Aku sedang berusaha melupakan dia, sudah hampir bertahun-tahun kurasa berhasil. Eh, malah ketemu lagi di Bandung. Lalu, tadi sebelum ke sini, aku berpapasan di Stasiun Pasar Senen dengannya. Dia menggandeng seorang wanita, yang kurasa itu pacarnya."
"Yakin kalo wanita itu pacarnya?" tanyaku.
Ia mengangguk pelan, tak lama meneteskan kembali air matanya. Aku yang tak tega melihatnya mengelus bahunya, tak kusangka ia malah menyandarkan kepalanya ke bahuku.
"Udah jangan dipikirin lagi, ya," kataku mencoba menghibur.
Untuk menenangkan pikirannya, aku mengajaknya berkeliling stadion. Kubeli sepotong es krim untuknya. Setelah itu, kami menikmati es krim bersama sembari melihat beberapa orang sedang jogging mengitari stadion megah ini.
"Gun, aku lapar, nih. Kita makan, yuk!" ajak Maudy.
"Ayo. Saya juga sudah lapar. Kita makan di sana, ada menu favorit saya," ujarku.
Ketika makan, kulihat Maudy lebih lepas. Senyum manisnya terlukis lagi, matanya sudah tidak bengkak, dan selalu tertawa ketika aku bersenda gurau. Seusai makan, Maudy berkata ingin pulang karena sudah sangat lelah. Awalnya kuingin ulur agar masih bisa berdua dengannya hari ini, namun melihatnya aku tak sanggup.
***
Akhir-akhir Maudy lebih sering bercerita mengenai Julian, lelaki yang ditaksirkan sedari SMA. Katanya, lelaki itu adalah lelaki yang bisa meluluhkan hatinya di saat dirinya sedang patah hati. Julian adalah sosok yang sempurna baginya, tak dapat ditandingi. Hal itu membuat diriku menciut mendengarnya, walaupun gejolakku ingin membuktikan pada Maudy bahwa akulah yang seharusnya kini ditaksirnya.