Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Journalism Zone - Series 1

10 Juli 2024   16:34 Diperbarui: 11 Juli 2024   01:43 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gerimis masih membasahi ibu kota saat diriku sedang meneduh di halte bus. Aku baru saja meliput sebuah peresmian sebuah perusahaan yang dihadiri oleh presiden dan para menteri. Setelan hitam-hitam dengan logo media tempatku bekerja di dada mulai basah akibat tetesan air hujan yang mengenainya. Dari kejauhan kulihat dua orang wanita dari media lain berlarian ke halte, tempatku meneduh. Mereka langsung merapikan pakaian yang sedikit kuyup.

"Permisi, kita numpang neduh, ya," seru salah seorang dari mereka dengan lembut.

"Iya. Nggak apa-apa, ini juga tempat umum, bebas untuk siapa saja," kataku tersenyum.

"Dari media mana, Mas?" tanyanya.

"Guntur, dari Media Kita," jawabku mengulurkan tangan. "Panggil aja Guntur, nggak perlu pake 'Mas'."

"Maudy, dari Jurnalis Muda. Ini teman saya namanya Reva."

Mereka membalas jabat tanganku.

Selanjutnya Maudy mengajakku berbincang, terutama pengalamannya di dunia jurnalistik. Menurutnya, jurnalis sekarang sering disalahkan oleh warganet. Padahal, sejatinya seorang jurnalis hanya mengikuti 'perintah' dari media atau pemimpin redaksi tempatnya bekerja. Pengalaman menarik diceritakannya ketika sedang meliput daerah banjir, ia bercerita bahwa saat itu hampir terseret arus banjir.

Aku berbincang dengannya hingga hujan reda. Sebelum berpisah, ia memberikan kartu namanya kepadaku. Untuk merespons baik, aku pun memberi kartu namaku. Maudy dan Reva beranjak pergi menggunakan KRL. Sebenarnya dengan perbincangan tadi, aku langsung tertarik dengan Maudy. Dari sifatnya tercermin wanita yang cerdas, pengetahuannya begitu mumpuni.

"Pesonanya menarik hati, apa ini namanya jatuh cinta? Setelah bertahun-tahun akhirnya aku jatuh cinta pada wanita baru," ujarku pada diri sendiri.

***

Aku duduk di sudut kamar, memeriksa kembali tulisanku sebelum dikirim ke redaksi. Di luar kembali turun hujan yang begitu deras, sambaran petir seakan mendramatisasi keadaan. Notifikasi berbunyi, namun aku tidak mengenal pengirimnya. Kubalas pesannya, ternyata ia adalah Maudy, wanita yang kujumpa di halte kemarin sore.

"Kamu sedang meliput?" tulisnya.

"Nggak. Saya sedang memeriksa tulisan saja di rumah, sebelum dikirim ke redaksi," balasku. "Kalo kamu sedang apa?"

"Sedang mencari informasi mengenai acara besok di Perpustakaan Nasional," jawabnya.

"Kamu besok liputan ke sana juga? Saya akan liputan ke sana besok. Kita bisa berjumpa lagi."

"Wah, senang rasanya jika kita bertemu lagi. Boleh kita jadwalkan sehabis acara. Kamu tidak ada kepentingan, 'kan, seberes acara?" tanyanya lagi.

"Tentu saja tidak. Paling hanya merapikan tulisan saja, tapi itu gampang, 'lah, bisa diatur sembari ketemuan denganmu."

Hujan semakin deras, genangan air di jalanan terlihat dari jendela kamarku. Semoga saja tidak tergenang hingga menyebabkan banjir. Karena, hal tersebut bisa saja membatalkan pertemuanku dengan Maudy esok hari. Dirasa telah beres, kukirim tulisan yang kubuat ke redaksi dengan harapan tidak ada revisi agar aku bisa bersantai sebelum beranjak tidur. Kunyalakan musik kesukaanku melalui file pada laptopku. Lagu-lagunya bergantian berputar, beradu dengan derai hujan yang turun di luar.

Keesokan harinya langit hadir begitu cerah, begitu pun semangatku. Entah karena apa, diriku sangat bersemangat menjalani aktivitas hari ini. Setelah melakukan presensi di kantor, aku langsung meluncur ke Perpustakaan Nasional bersama rekanku, Haikal. Ia adalah juru kamera yang bisa dibilang 'kecemplung' ke dunia jurnalistik. Karena, latar pendidikannya jauh dari dunia ini, yakni Arsitektur. Namun, karena Haikal memiliki kemampuan dan pengalaman di bidang video-editing, akhirnya ia dapat bekerja di sini.

Sesampainya di lokasi, kutunjukkan kartu namaku kepada satpam agar dapat diarahkan ke tempat peliputan. Acara berlangsung di lantai 2, di sana sudah hadir pula jurnalis dari berbagai media. Namun, aku belum melihat adanya Maudy atau jurnalis dari Jurnalis Muda.

"Lu cari siapa sih? Kayaknya ada yang lu cari dari tadi, Tur!?" Haikal sangat keheranan melihat temannya melirik sana-sini.

"Nggak apa-apa," ucapku berbohong. "Kita ke sana, yuk, biar bisa hadap-hadapan dengan narasumber. Biar lu juga bisa dapet angle yang pas, Kal."

Aku masih mencari-cari keberadaan Maudy hingga akhirnya sebelum dimulainya acara, ia dengan Reva pun datang. Awalnya ingin kuhampiri dia, tapi aku tidak bisa mundur ke belakang kembali.  Beberapa jurnalis dari berbagai media telah berkerumun sehingga sulit untuk dapat ke belakang. Sepanjang acara berlangsung, sesekali diriku menoleh ke belakang untuk memastikan Maudy masih di sana. Haikal semakin curiga dengan gelagatku, ia terus-menerus bertanya kepadaku, meskipun aku tetap membisu untuk memberitahunya.

***

Acara yang berlangsung dua jam akhirnya usai, seusai merekam semua pers tadi, aku menelepon Maudy untuk menanyakan di manakah ia berada. "Kamu di mana?"

"Aku sudah di bawah, ini lagi menuju tempat makan yang ada di area Monas. Kita ketemu di sana saja, ya, nanti aku kasih tau letak persisnya di mana," jelasnya.

Setelah mendapat informasi, aku segera menuju tempat -- tanpa mengajak Haikal -- yang diberi tahu oleh Maudy. Aneka ayam bakar maupun ayam goreng menjadi lokasi pertemuan. Setelah menemukan tempatnya, aku segera menghampiri Maudy yang ternyata hanya sendirian, tidak bersama Reva.

"Hai!" sapaku.

"Guntur! Silakan duduk," balasnya. "Aku udah pesan minuman untukmu, kalo makanannya kamu pesan lagi biar sesuai sama yang kamu mau."

Aku duduk di depannya, berhadapan dengannya. Senyum manisnya terlukis indah di wajahnya, membuatku mabuk kepalang. Grogi menyerangku tiba-tiba, lidahku mendadak kaku, dan udara mendadak dingin. Ada apa dengan diriku, mengapa tiba-tiba seperti ini? Apa benar aku telah jatuh hati dengan wanita yang ada di hadapanku?

"Kenapa diam saja dari tadi?"

"Nggak apa-apa. Sudah sering makan di sini?"

"Ya, lumayan lah. Setiap ada liputan di Perpusnas, aku selalu makan di sini. Ayam bakarnya enak!"

"Sepertinya menarik, ya, kalau gitu aku juga harus coba nanti ayam bakarnya."

"Harus dong, dijamin enak deh."

Cukup lama kami berbincang dengan obrolan basa-basi. Hingga akhirnya aku mulai berani bercengkrama mengenai latar belakang Maudy sebagai jurnalis, siapa tahu aku dapat kisah inspiratif darinya.

"Sudah berapa tahun menjadi jurnalis?" tanyaku.

"Kira-kira baru dua tahun, 'lah," jawabnya santai.

"Berarti lebih senior kamu, ya, kalo saya baru lima belas bulan. Walaupun sebelumnya saya selalu coba kirim tulisan ke media-media agar dapat dipublikasikan, ibaratnya jurnalis lepas," ungkapku.

"Itu sama saja sudah malang melintang di dunia jurnalistik."

Makanan yang kami pesan datang, aromanya menusuk indera penciumannya, rasanya ingin segera melahap satu porsi ayam bakar yang dilengkapi sambal terasi ini. Kami menghentikan sejenak perbincangan agar bisa syahdu menikmati makanan, meski sesekali saling lempar tanya tak terhindarkan.

"Bagaimana ayam bakarnya enak?" tanya Maudy.

"Enak. Walaupun sambalnya sedikit asin, mungkin sedikit banyak garam," bisikku tertawa.

"Kukira sambalku saja yang asin, ternyata punyamu juga. Biasanya, sih, nggak asin," serunya.

Seberes makan, Maudy mengajakku untuk menyaksikan pertunjukkan air mancur warna-warni di Monas. Katanya ia sering melihatnya jika waktu luang. Memang tak lama kami berada di Monas karena malam sudah larut dan esok harus kembali bekerja.

"Sampai jumpa, ya, Gun!" pekiknya melambaikan tangan.

"Sampai jumpa juga!" balasku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun