"Ya, lumayan lah. Setiap ada liputan di Perpusnas, aku selalu makan di sini. Ayam bakarnya enak!"
"Sepertinya menarik, ya, kalau gitu aku juga harus coba nanti ayam bakarnya."
"Harus dong, dijamin enak deh."
Cukup lama kami berbincang dengan obrolan basa-basi. Hingga akhirnya aku mulai berani bercengkrama mengenai latar belakang Maudy sebagai jurnalis, siapa tahu aku dapat kisah inspiratif darinya.
"Sudah berapa tahun menjadi jurnalis?" tanyaku.
"Kira-kira baru dua tahun, 'lah," jawabnya santai.
"Berarti lebih senior kamu, ya, kalo saya baru lima belas bulan. Walaupun sebelumnya saya selalu coba kirim tulisan ke media-media agar dapat dipublikasikan, ibaratnya jurnalis lepas," ungkapku.
"Itu sama saja sudah malang melintang di dunia jurnalistik."
Makanan yang kami pesan datang, aromanya menusuk indera penciumannya, rasanya ingin segera melahap satu porsi ayam bakar yang dilengkapi sambal terasi ini. Kami menghentikan sejenak perbincangan agar bisa syahdu menikmati makanan, meski sesekali saling lempar tanya tak terhindarkan.
"Bagaimana ayam bakarnya enak?" tanya Maudy.
"Enak. Walaupun sambalnya sedikit asin, mungkin sedikit banyak garam," bisikku tertawa.