"Kayaknya, sih, begitu, Kie. Kapalnya padahal masih bagus, ya, tapi udah nggak digunakan lagi."
Langit perlahan berubah menjadi jingga tatkala senja mulai menyapa. Aku mengenggam tangan Kienna. Jantungku berdebar kala kami menirukan adegan ikonik dari sebuah film "Titanic". Ketika Kienna merentangkan tangan dan mengembus napasnya, aku mulai membisikkan sesuatu kepadanya, "Kienna, I Love You!"
***
Lima belas bulan silam
Nada sambung ponselku berdering ketika sedang melanjutkan proyek novelku. Setelah kulihat ternyata Gio memanggilku, ia ingin diriku menghampirinya di kedai kopi favorit. Beberapa menit kemudian aku sudah berada di tempat yang memang jaraknya cukup dekat dengan rumah. Di sana, sudah ada Gio, Miko, Thalita, dan satu gadis yang tidak kukenal namanya, namun tidak asing bagiku. Kuhampiri mereka yang sedang asyik berbincang.
"Loh, kamu yang waktu itu di seminar kepenulisan, 'kan?" sontakku menunjuk gadis itu.
"Jadi, kalian udah saling kenal?" tanya Thalita tak menyangka karena aku dan gadis itu.
"Udah kenal, tapi belum sempat tanya nama waktu itu. Pertama kali ketemu di seminar beberapa bulan lalu," ungkapku.
"Dunia sempit, ya," ujar Thalita.
Gadis itu mengulurkan tangan, "Kienna."
"Namaku Pramudya. Panggil aja Pram," ujarku.