Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KKN (Konco Kentel Nikung) - Bagian 3

24 April 2024   19:08 Diperbarui: 24 April 2024   19:10 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah menunggu Raya di teras penginapan sekitar setengah jam lalu. Beberapa barang bawaan sudah kusiapkan, seperti pakaian ganti, makanan ringan, dan sebagainya. Seperti yang sudah dibicarakan tadi malam, aku dan Raya akan jalan-jalan ke air terjun yang terletak di dekat desa ini.

"Mas, maaf jadi nunggu lama," pekik Raya yang tiba-tiba keluar pintu.

"Nggak apa-apa, saya yang datangnya terlalu cepat, kok."

"Hmmm... temen-temen boleh ikut atau nggak, Mas?" tanya Raya tidak enak hati. "Soalnya mereka pengin ikut juga."

Pikiranku yang sudah membayangkan bisa berdua seharian dengan Raya seketika buyar. Belum sempat kujawab, Yani dan Tita langsung menyerbuku dengan pertanyaan yang sama. Bahkan, mereka sebenarnya sudah siap dengan barang bawaannya sehingga aku tak dapat menolak mereka untuk ikut juga ke air terjun. Alhasil, aku mencoba menghubungi Saga agar bisa menemani kami.

Beberapa menit kemudian, Saga datang membawa mobil pick up sewaannya sehingga kami tak perlu menggunakan sepeda motor untuk sampai ke sana. Kami pun bergegas meluncur ke tujuan menggunakan mobil pick up. Selama perjalanan, Raya terlihat menikmati bentangan sawah yang sebentar lagi musim panen. Tak lupa ia mengabadikan dengan kamera miliknya.

"Pemandangannya bagus banget, aku pengin, deh, tinggal di desa ini," ujarnya sembari memotret.

"Kalo kamu mau tinggal di desa ini, maukah kamu bersanding denganku?" batinku memandangnya.

"Mas, senyum dong! Cuma foto Mas Jagat yang belum ada di kameraku," pekiknya.

Aku segera tersenym agar hasil foto yang dijepretnya memuaskan. Dengan sekali tekan, jepretannya langsung ditunjukkan kepadaku. Teknik memotretnya sangat baik, bahkan untuk mahasiswa jurusan pendidikan--yang notabene tidak mempelajari teknik fotografi.

***

Setelah setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Udara segar menyelimuti, suara air mengalir seakan menjadi melodi yang berdengung di telinga. Raya kembali memotret dengan kameranya, sementara aku dan Saga membantu membawa barang-barang mereka.

Untuk sampai titik air terjunnya, kami harus berjalan kaki sejauh 1 kilometer. Tentu akses jalannya tidak mudah karena harus menanjak di antara jalan setapak yang curam. Raya dan teman-teman memimpin di barisan depan, meskipun sebenarnya mereka tidak begitu tahu jalan menuju ke titik air terjunnya.

"Kalian beruntung karena saat ini air terjunnya tidak ramai pengunjung," kata Saga dengan napas terengah-engah.

"Kenapa emangnya, Bang?" tanya Yani heran.

"Karena sekarang bukan musim liburan," jawabku mengambil alih.

"Iya juga, ya," ucap Yani.

"Arghhh!" Raya tak mempedulikan obrolan yang sedang tercipta, ia  terlalu asyik dengan kameranya sehingga hampir terpeleset ke bawah derasnya arus sungai. Untung saja Saga menangkapnya dengan cepat.

Bukannya bersyukur Raya tidak terjatuh, aku seperti tak suka melihat adegan itu. Saga memeluknya erat dan sangat lama, sedangkan Raya luluh dengan kelugasannya.

"Terima kasih, Bang," ucap Raya diam tak berkutik.

"Sama-sama," kata Saga yang masih memeluknya.

"Cieeee....." Yani dan Tita meledeki Raya yang sehingga membuatku hangus oleh api kecemburuan.

Selanjutnya kami terus berjalan hingga titik tujuan. Masih ada bara yang berkobar dalam hatiku, Raya tidak lagi memainkan kameranya karena takut kejadian tadi terulang, Saga kini berada persis di samping Raya, sedangkan Yani dan Tita masih meledeki Raya yang bergeming sejak tragedi tadi.

Sesampainya di titik air terjun, Raya dan kawan-kawannya langsung melompat ke dalam air. Sementara aku dan Saga masih berada di daratan menjaga barang-barang bawaan mereka. Derasannya air terjun membuat ketegangan yang baru saja terjadi menjadi cair. Senyum manis Raya kembali terlukis pada wajahnya.

"Jagat, kowe yang jaga barang bawaan mereka, ya, biar kulo yang nyemplung," kata Saga langsung melompat ke dalam air.

"Lah, kok, jadi kulo yang jagain? 'Kan, kulo yang ngajakin jalan-jalan ke air terjun," ujarku merasa dicurangi oleh Saga.

Dengan pasrah akhirnya aku hanya duduk sambil menjaga barang-barang bawaan. Tak banyak yang bisa kulakukan, selain melihat mereka sedang asyik bermain air di saat diriku berteman dengan tas-tas mereka.

***

Tak sadar diriku tertidur pulas ketika sedang menjaga barang bawaan. Aku terbangun ketika mendengar suara histeris dari Yani dan Tita. "Tembak, tembak, tembak!"

"Tembak apaan? Siapa yang bawa senjata? Siapa yang perang di sini?" tanyaku pada diri sendiri.

Dugaanku sangat di luar kendali, bahkan lebih menyakitkan ketika melihat adegan Saga menyelamatkan Raya tadi. Tak terduga Saga menyatakan perasaannya kepada Raya di bawah air terjun, bahkan semuanya sepertinya sudah disiapkan dengan matang karena Yani dan Tita juga terlibat di dalamnya.

"Mas Jagat sini!" teriak Yani.

Aku yang setengah malas menghampiri mereka melangkahkan diri ke sana. Api cemburu yang sudah padam kembali berkobar, bahkan ketika berada di dalam genangan air. Hatiku sesak melihat tangan Raya digenggam oleh Saga, konco kentel-ku sendiri.

"Sejak kaukeluar dari mobil yang membawamu dari kota, aku sudah terhipnotis dengan pesonamu. Saat itu, rona wajahmu langsung menancap tajam di dalam pikiranku, seolah-olah kauakan menetap di sana," ungkap Saga sembari menggenggam dan menatap Raya dengan penuh perasaan.

"Itu, 'kan, persis yang gua tulis di buku catatan buat Raya. Kenapa Saga bisa tau kata-katanya, ya?" tanyaku heran sendiri.

"Perasaan ini sudah di puncaknya, Ray. Maukah kamu jadi kekasihku?" lanjut Saga.

Raya tersipu malu. Ia terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi. "Aku bingung...."

"Terima! Terima! Terima!" sorak Yani dan Tita.

"Gimana, Raya?" tanya Saga sekali lagi.

Aku semakin tak bersuara dan bergeming. Jika bisa pergi dari tempat ini sepertinya akan kulakukan sesegera mungkin. Kutahan air mata yang ingin tumpah dari tempatnya, tak mungkin kutunjukkan rasa sedih ini.

"Kasih aku waktu, Bang," ucap Raya.

***

Setelah Saga menyatakan perasaannya kepada Raya, mereka semakin sering berdua. Posisiku yang tadinya selalu mengantar kebutuhan mereka ke penginapan pun diambil alih oleh Saga. Aku tak dapat berbuat apa-apa, apalagi Saga adalah anak dari saudagar paling kaya di desa, yang selalu menjadi donatur utama setiap perhelatan acara di sini.

Tak terasa Raya dan kawan-kawan sudah selesai mengabdi di desa ini. Terhitung sudah sebulan mereka tinggal dan membuat anak-anak desa semangat menuntut ilmu. Kini, mereka pun harus kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikannya.

"Pak Kades, Bang Saga, Mas Jagat, dan semua warga desa yang telah menerima kami dengan baik, saya mewakili teman-teman ingin mengucapkan terima kasih. Semoga kehadiran kami di desa ini membawa manfaat untuk semuanya. Sebenarnya saya ingin berlama-lama berada di desa ini karena di sini saya menemukan arti lain dari kata 'hidup tentram'," ungkap Raya mewakili teman-temannya.

"Untuk Raya, Yani, dan Tita, terima kasih juga sudah mau berbaur dengan kami. Semoga apa yang kami suguhkan dapat berkesan ketika kembali ke kota nanti," cetus Pak Kades.

Entah kapan aku bisa kembali bertemu dengan Raya setelah ini. Aku hanya bisa mengelus dada untuk hal tersebut. Sedih rasanya berpisah dengannya, walaupun akhir-akhir ini ia lebih dekat dengan Saga.

"Hati-hati di jalan, ya!" ucapku singkat.

"Ya sudah. Raya, Yani, dan Tita silakan masuk ke dalam mobil. Saya akan antar kalian ke kota, kebetulan saya juga akan melanjutkan pendidikan saya di kota," sahut Saga mengejutkanku.

Bagaimana bisa aku tidak mengetahui bahwa Saga yang akan mengantar Raya dan teman-temannya ke kota. Apakah mereka sudah menjalin hubungan tanpa sepengetahuanku? Atau, semuanya terjadi saat diriku terlalu larut dalam kesedihan karena gagal menyatakan perasaanku kepada Raya, sebab ditikung oleh temanku sendiri.

Lalu, bagaimana bisa aku tidak mengetahui bahwa Saga tiba-tiba ingin melanjutkan pendidikannya di kota. Sebab, yang kuketahui ia sama sekali sudah tidak ingin melanjutkan S-2. Yang pasti semua ini benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku, layaknya sebuah tikungan tajam dalam sebuah sirkuit MotoGP.

Sungguh menyakitkan ketika teman sendiri yang bahagia dengan gadis dambaanku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun