"Sejak kaukeluar dari mobil yang membawamu dari kota, aku sudah terhipnotis dengan pesonamu. Saat itu, rona wajahmu langsung menancap tajam di dalam pikiranku, seolah-olah kauakan menetap di sana," ungkap Saga sembari menggenggam dan menatap Raya dengan penuh perasaan.
"Itu, 'kan, persis yang gua tulis di buku catatan buat Raya. Kenapa Saga bisa tau kata-katanya, ya?" tanyaku heran sendiri.
"Perasaan ini sudah di puncaknya, Ray. Maukah kamu jadi kekasihku?" lanjut Saga.
Raya tersipu malu. Ia terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi. "Aku bingung...."
"Terima! Terima! Terima!" sorak Yani dan Tita.
"Gimana, Raya?" tanya Saga sekali lagi.
Aku semakin tak bersuara dan bergeming. Jika bisa pergi dari tempat ini sepertinya akan kulakukan sesegera mungkin. Kutahan air mata yang ingin tumpah dari tempatnya, tak mungkin kutunjukkan rasa sedih ini.
"Kasih aku waktu, Bang," ucap Raya.
***
Setelah Saga menyatakan perasaannya kepada Raya, mereka semakin sering berdua. Posisiku yang tadinya selalu mengantar kebutuhan mereka ke penginapan pun diambil alih oleh Saga. Aku tak dapat berbuat apa-apa, apalagi Saga adalah anak dari saudagar paling kaya di desa, yang selalu menjadi donatur utama setiap perhelatan acara di sini.
Tak terasa Raya dan kawan-kawan sudah selesai mengabdi di desa ini. Terhitung sudah sebulan mereka tinggal dan membuat anak-anak desa semangat menuntut ilmu. Kini, mereka pun harus kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikannya.