Menurut Nagy lagi, panhelenisme memiliki sejumlah konsekuensi penting.
Pertama, ia menyediakan konteks di mana puisi tidak lagi sekadar ungkapan atau ritual pemeragaan mitos-mitos lokal. Penyair keliling ketika itu berkewajiban untuk memilih aspek-aspek mitos yang umum untuk berbagai tempat yang dia kunjungi.Â
Kata yang tepat untuk menggambarkan itu adalah "convergence of features" yang diambil dari mitos aletheia. Maka, konsep penyair pun berkembang menjadi konsep sang pemilik kebenaran. Penyair menjadi pemasok kebenaran universal---dibedakan dari mitos yang bersifat lokal dan khusus.
Persepsi Nagy tersebut penting untuk memahami teori sastra Yunani berikutnya: domain kebenaran menjadi arena pertarungan sengit antara puisi dan filsafat.
Konsekuensi kedua panhelenisme adalah evolusi kelompok-kelompok atau kanon teks ke dalam status klasik. Ketika itu, di periode pelajar Alexandrian, istilah kritisisme (criticism) atau penilaian (judgment) seperti puisi-puisi lirik Alkman, Stesikoros, Alkaios, Sapfo, Ibykos, Anakreon, Simonides, Bakkhylides, dan Pindaros yang masuk dalam warisan kanon. Oleh karena itu, tradisi lokal yang sudah ada dalam format lisan kemudian berevolusi menjadi tradisi terbatas dari komposisi lirik yang tetap.
Konsekuensi ketiga adalah pengembangan konsep imitasi atau mimesis menjadi konsep otoritas. Mimesis merujuk pada peristiwa mitos yang diperagakan kembali melalui ritual oleh penyair, atau pembuatan ulang (sekarang) yang didasarkan pada pembuatan ulang (sebelumnya).Â
Mimesis menjadi konsep otoritatif sejauh penulis berbicara dengan otoritas mitos yang diterima secara universal, tak lekang oleh waktu, dan tidak berubah.Â
Hal tersebut semacam menjanjikan para performer pertunjukan lisan untuk tidak perlu berganti-ganti mengakomodasi kepentingan khalayak lokal.
Kesenangan yang hadir ketika menyaksikan pertunjukan adalah hal yang diutamakan.
Bahkan setelah tradisi pertunjukan lisan tidak berlaku lagi, etika otoritarian dari mimesis ini tetap dilestarikan dalam pendidikan.