Euripides sepakat bahwa pada umumnya penyair dihargai karena kecerdasannya, juga sebagai penasihat yang bijaksana. Penyair melatih masyarakat untuk menjadi penduduk kota yang baik dan layak.
Namun---berbeda dengan Aiskhulos---dia menggunakan cara demokratis yang memungkinkan perwakilan dari semua kelas bisa bicara, menunjukkan iklim kehidupan bersama, serta mengajar publik untuk berpikir.
Ia bersikeras bahwa penyair harus berbicara dalam kebiasaan manusia dan menuduh Aiskhulos menggunakan bahasa yang bombastis, tidak jelas, dan berulang-ulang.
Aiskhulos meyakini bahwa gaya pidato yang tinggi dan luhur cocok untuk pikiran yang kuat dan tujuan heroik. Ia mencela Euripides yang dianggapnya telah mengajari para pemuda kota berseteru, berdebat, menantang, berdiskusi, dan menyanggah sebagai ajakan ke panggung pesta pora dan skandal.
Akhirnya, sebuah skala dibawa, menunjukkan bahwa syair Aiskhulos lebih berisi. Secara signifikan---menurut Dionysus---ada dua faktor yang terlibat dalam memutuskan soal ini.
Pertama, Athena tidak hanya membutuhkan penyair sejati untuk melanjutkan festival drama dan kompetisi paduan suara.
Namun, penyair ini akan dipanggil untuk memberi beberapa saran pada kota tentang masalah politik---terutama tentang hal yang harus dilakukan pada Alkibiades (seorang jenderal yang cerdas, egois, sekaligus pemurah yang berada di pengasingan. Ia dianggap ancaman bagi negara dan demokrasi).
Aiskhulos mengulangi nasihat Perikles bahwa kekayaan sejati Athena terletak pada armadanya. Dionysus mengucapkan nama Aiskhulos sebagai pemenang. Menariknya, paduan suara menyanyikan pujian pada Aiskhulos, menyatakannya sebagai pria dengan pikiran cerdas.
Kecerdasan itu mewujudkan kebijaksanaan yang dibutuhkan seni tragedi, sekaligus sangat kontras dengan pembicaraan kosong nan berdalih dari Sokrates. Kelak, pertentangan antara puisi dan filsafat itu akan muncul berulang dalam perjalanan historis kritik sastra.
Drama Aristophanes sesungguhnya memberlakukan kewajiban sipil puisi dan kritik sastra. Pujian yang datang pada Aristophanes itu bergantung pada seruannya bagi orang-orang Athena---yang akan mendapat kekalahan militer---untuk kembali ke spirit peperangan. Drama The Frogs mementaskan politik dan budaya Athena sebagai dilema kritis sastra.
Contoh perdebatan kritik sastra yang berkesinambungan tersebut mengungkap sejumlah ciri menonjol dari puisi dan kritik dalam khazanah Yunani kuno. Pertama, fokus kita yang kadang-kadang sempit pada dimensi estetis belaka. Sastra yang murni---dari suatu teks---akan tidak dapat dipahami oleh orang Yunani kuno.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!