Dalam rentang waktu hampir seribu tahun, penyair, filsuf, ahli retorika, ahli bahasa, dan para kritikus menetapkan banyak istilah dasar, konsep, dan pertanyaan yang membentuk masa depan kritik sastra. Sastra terus berevolusi hingga dewasa ini.
Termasuk pula di dalamnya konsep mimesis atau imitasi; konsep keindahan dan hubungannya dengan kebenaran dan kebaikan; kesatuan organik ideal karya sastra; fungsi sosial, politik, dan moral sastra; hubungan antara sastra, filsafat, dan retorika; sifat dan status bahasa; dampak kinerja sastra pada audiens; definisi kiasan seperti metafora, metonimi, dan simbol; gagasan kanon sebagai karya sastra yang paling penting; dan pengembangan berbagai genre seperti epik, tragedi, komedi, puisi liris, dan lelaguan.
Sebuah diskusi kritis sastra yang mencolok terjadi dalam drama Aristophanes, The Frogs---pertama kali dilakukan 405 SM, tepat sebelum berakhirnya Perang Peloponnesia pada 404 SM dalam kekalahan total Athena di tangan rivalnya, Sparta.
Mungkin kelihatan aneh melihat bahwa kritik sastra di era itu digunakan untuk menghibur ribuan orang---mengingat sekarang kita sangat teknis dan menekankan pendekatan khusus dalam sastra.
Fakta tersebut menjadi bukti dari kecenderungan melek huruf warga Athena. Mereka diharapkan mengenali ragam kiasan dalam karya-karya sastra lampau, memahami istilah-istilah perdebatan kritis, serta implikasi politik dan sosialnya.
Plot komedi Aristophanes dibangun di sekitar gagasan bahwa tidak ada lagi penyair baik yang tersisa di dunia. Dramawan yang hidup yang tersisa tinggal para pengobrol (jabberers) yang menurunkan martabat seni mereka. Tak ada jalan lain untuk mendapatkan jasa penyair baik selain menghidupkan mereka yang mati.
Untuk menentukan penyair mana---antara Euripides atau Aiskhulos---yang lebih cocok untuk tugas ini, pengadilan dilakukan di depan Pluto. Hakimnya adalah Dionysus, dewa pelindung drama. Aristophanes menggambarkan petualangan komik Dionysus dan budaknya Xanthias, saat mereka berjalan ke pengadilan dan mendengarkan argumen yang ditawarkan oleh masing-masing dari dua penyair tragedian itu.
Dalam konteks seni puitik, Aiskhulos mewakili kebajikan yang lebih tradisional dari generasi lampau, seperti kecakapan bela diri, kepahlawanan, penghormatan terhadap hierarki sosial---semuanya diwujudkan dalam gaya bicara yang luhur, indah, dan luhur.
Sementara itu, Euripides adalah suara yang lebih baru, demokratis, generasi yang sekuler dan sederhana. Ketika bicara tentang fungsi-fungsi umum puisi, Aiskhulos menjelaskan bahwa para penyair seperti Orpheus mengajarkan ritus-ritus agama, kode-kode moral, dan obat-obatan; Hesiod memberi instruksi tentang pertanian; Homer menyuarakan keberanian, kehormatan, dan eksekusi perang.
Aiskhulos menempatkan dirinya dalam tradisi ini, mengingatkan penonton bahwa drama-dramanya mengilhami hasrat untuk berperang. Dia memperingatkan bahwa para penyair adalah guru para lelaki dan harus menghindari penggambaran tentang segala jenis kejahatan---terutama pelacuran dan incest yang dapat ditemukan dalam karya Euripides.