Mohon tunggu...
AA Diah Indrayani
AA Diah Indrayani Mohon Tunggu... Dosen - write with love

beginner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filosofi Saraswati

30 Januari 2022   09:13 Diperbarui: 30 Januari 2022   09:41 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Filosofi Saraswati

 Hari suci yang jatuh pada wuku Watugunung, didasarkan pada epos dan ethos, sehingga mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung pula dengan kesaktian yang dimiliki. Saraswati di dalam weda bertujuan untuk mengetahui puja dan pujian, masyarakat hindu terhadap Sang Hyang Saraswati dilihat dari adanya sungai sindhu yang sudah mengalir lebih dari 3.000 tahun silam, keterangan ini berdasarkan atas penyelidikan adanya kitab-kitab weda hindu di India dikatakan bahwa Reg weda yaitu weda yang pertama dari catur weda yang sudah ada pada tahun 1.200 sebelum Tarikh Masehi. Sungai Sindhu ini mendapat aliran dari percampuran dua batang sungai yaitu sungai Saraswati dan sungai Drsadwati. Kedua batang sungai ini yang terkenal ialah sungai Saraswati, diantara aliran kedua batang sungai itu terletaklah tanah yang bernama Brahmaputra atau Kuruksetra sebagaimana yang disebutkan didalam sloka-sloka atau stotra-stotra hindu. Antara lain:

Daksina na Saraswatya,

Drsadwatyutturena Ca,

Ye Wasanti Kuruksetra,

Te Wasanti Triwistape.

Artinya :  penduduk yang tinggal pada tanah Kuruksetra atau Brahmawarta, yang terletak disebelah selatan sungai Saraswati dan disebelah utara sungai Drsadwati, dianggap sebagai tinggal di Indraloka.

            Demikian pula yang tersebut didalam Buku Manawa Dharmasastra, jilid II, sloka 17, antara lain berbunyi :

            Saraswati Drsadwatyar,

            Dewanadyor yad antaram,

            Tam Dewa airmitam decam,

            Brahmawartem prucaksate.

Artinya : diantara sungai Saraswati dan sungai Drsadwati, yang kedua batang sungai itu juga disebut : "Dewanadi" (sungai Dewa), terletak tanah yang bernama Brahmawarta.

            Di sini sungai Saraswati itu sudah dianggap sungai Dewa. Dari itulah sungai Saraswati dipuja dan dihormati oleh bangsa Arya dan Drawida, disamping menghormati sungai Gangga dan Yamuna. Tanah Brahmawarta itu dianugrahkan kepada penghuninya, demi untuk kesuburan negaranya.

            Mantra-mantra yang ada di dalam Reg weda kira-kira lebih dari 45 stuti (stotra) yang mengucapkan puja dan pujian Dewi Saraswati. Untuk melakukan upacara korban binatang, Dewi Saraswati inipun disebut-sebut dalam doa pengantar pujaannya. Biasanya khusus sajian kurban untuk Dewi Saraswati, dipergunakan hewan domba yang betina. Tetapi pada dewasa ini sungai saraswati sudah tidak ada lagi, karena dahulu sudah terbenam dengan gurun Thar yang penuh dengan pasir, bukit-bukit karang dan daerah-daerah yang tandus. Gurun Thar kini menjadi perbatasan sebelah barat tanah datar India tengah.

            Dewi Saraswati itu sangat berjasa, karena ia dapat mengobati Sang Hyang Indra, seperti yang tersebut di dalam pustaka Yajur Weda (weda yang ketiga). Diceritakan di dalam mitos ini bahwa Dewa Indra itu pernah mabuk yang kemudian Dewi Saraswati dapat memberikan obat yang dicampur dengan Soma (air suci) dan sura (nira). Jamu inilah yang menyembuhkan Dewa Indra dari mabuknya.

            Kemudian berselang beberapa abad, Dewi Saraswati itu dianggap sebagai saktinya Bhatara Brahma (Dewa Pencipta). Dan juga dianggap sebagai kasusastraan atau Dewi ilmu pengetahuan (Wagicwari).

Mantra-mantra yang isinya untuk memuji Dewi Saraswati, banyak terdapat didalam kesusastraan- kesusastraan belakangan ini, misalnya didalam mantra Weda Sadangga, Astra Mantra, Garuda Purrana dan Agni Purrana. Didalam mantra Surya Sewana, Dewi Saraswati dipuji tiga kali, misalnya didalam mantra-mantra :

  1. Sapta Tirta ( Tujuh Sungai Suci) yang dimaksud ialah : sungai gangga, Saraswati, Sindhu, Wipaca, Kauciki, Yamuna dan Sarayu.
  2. Catur Resi yang dimaksud ialah : Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati.
  1. Mentra Sapta Gangga yang berbunyi sebagai dibawah ini :

Om, Gangga Saraswati Sindhu Wipaca Kauciki nadi Yamuna, Mahaticrestha Sarayusca Mahanadi.

            Om Gangga Sindhu,

            Saraswati su Yamuna,

            Godawari Narmada,

            Kaweri Sarayu.

Didalam mantra ilmu kebatinan, Dewi Saraswati itu dianggap ada di lidah, seperti yang tersebut pada mantra dibawah ini :

            Manacca Narmada Tirtha,

            Buddhisa Sindhu Tathaiwa Ca,

            Kantha mule smrtah gangga,

            Jihwa yanca Saraswati,

            Caksu rewati tirtha,

            Crotra crestha nadi tatha,

            Ciwa nadi smrta panau,

            Sapta tirtha pratisthita.

Didalam cerita Tri Marga, Dewi Saraswati juga diceritakan didalam suatu tempat yang penting didalam badan manusia, yaitu : Gangga sebagai Sumsuma (kerongkongan yang ditengah), Yamuna sebagai Ida (kerongkongan sebelah kanan), Saraswati sebagai Pinggala (kerongkongan sebelah kiri). Didalam pustaka Brahma Waiwarta Purana jilid II, tersebut Pradhana atau sakti para Bhatara yang terdiri dari lima sakti, yaitu : Durga, Laksmi(Sri), Saraswati dan Rudha.

Selain keterangan diatas, Dewi Saraswati itu juga dianggap sebagai pemelihara kitab-kitab Weda, seperti yang telah diterangkan didalam buku Calya Parwa, pasal 51, sebagai berikut :

Di pinggir sungai Saraswati, terdapat tujuh orang pendeta (sapta resi), yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wicwamitra, Jamadagni, Wacistha, Kacyapa dan Atri. Pada musim kemarau, para resi itu semuanya beralih ke tempat lain, mencari tempat yang agak subur, untuk menyambung penghidupannya. Pada saat itu mereka lupa kepada isi-isi pustaka Weda semua.

Saraswata, yaitu putra Dewi Saraswati masih tinggal tekun menetap dipinggir sungai Saraswati. Iapun tidak takut beralih ketempat lain, karena sebelum tiba musim kemarau itu, ibunya (Saraswati) telah berjanji akan memberi sangu kepadanya. Misalnya ikan yang ada di aliran sungai itu, untuk dimakannya. Lama kelamaan, para resi yang meninggalkan tempat itu kembali lagi ketempat mereka semula di pinggir sungai Saraswati. Disana mereka memohon kepada Dewi Saraswati, supaya mereka disadarkan kembali kepada isi-isi weda yang dahulu pernah dipelajari.

            Mendengar permohonan para resi itu, maka Dewi Saraswati mengabulkan permohonan itu, asal saja mereka tetap menjadi siswanya. Para resi mengatakan, bahwa Dewi Saraswati itu usianya masih muda, jadi dianggap kurang patut orang-orang berguru padanya. Namun Dewi Saraswati menerangkan, bahwa seorang guru (nabe) tiada terletak kepada umur, kekayaan, kebangsawanannya, melainkan harus disoroti ialah orang yang sanggup melakukan dharma kepandaianya. Demikian penjelasan Dewi Saraswati itu, yang kemudian datanglah lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati itu hendaklah berguru kepadanya.

            Dengan jalan demikian Dewi Saraswati itu dapat menghidupkan atau mengembangkan kitab-kitab wedanya. Didalam pustaka ceritra Aitereya Brahmana, jilid II, pasal 19, disana diceritakan belas kasihan Dewi Saraswati itu kepada seorang resi. Ceritanya adalah sebagai berikut :

            Tersebutlah seorang resi bernama Resi Kawasa, putra dari orang kebanyakan (wangsa Sudra). Pada suatu hari, Resi Kawasa itu hendak ikut menghantarkan suatu sesajen. Tetapi ia dilarang oleh seorang pendeta wangsa Brahmana, bahkan ia harus di internir ke Gurun Pasir hendaknya supaya mati. Setelah ia tiba di Gurun Pasir, kemudian datanglah Dewi Saraswati dengan sangat berbelas kasihan kepada resi yang malang itu oleh karena itu dia pun diberi pelajaran-pelajaran stuti (stotra). Setelah Resi Kawasa itu sangat pandai menghapalkan stotra-stotra maka ia pun kembali ketempatnya semula, serta disana ia menerangkan kepada sesamanya, bahwa ia sendiri sudah lulus dari ajaran-ajaran Dewi Saraswati. Akhirnya Resi Kawasa itu barulah diakui oleh sesamanya disana.

            Lain dari pada sikap Dewi Saraswati berbelas kasihan seperti keterangan-keterangan diatas ini, Dewi Saraswati suka mengampuni orang-orang yang berdosa karena kekeliruan, seperti yang tercantum didalam kitab Manawa Dharma Sastra, jilid XI, sloka 78. Didalam buku ini diterangkan, kalau ada seorang yang bukan wangsa brahmana membunuh seorang brahmana, apabila ia hendak memohon ampun, ia harus melakukan "Tirtagama" (membersihkan diri) dialiran sungai Saraswati dari hilir ke udik, seraya membawa sajian yang bernama "hawisya". Untuk makan selama ia melakukan tugas itu, harus ia memakan bekas-bekas (surudan, lungsuran) dari sesajen itu. Didalam buku ini juga jilid:VIII, sloka 105, dimana tercantum juga, sloka yang isinya untuk permohonan ampun dari seseorang yang menjadi saksi bohong. Untuk membersihkan dosa itu, maka ia harus memohon ampun kepada Dewi Saraswati, serta membawa sesajen yang disebut : Caru (kurban), serta dihantarkan dengan sloka yang berbunyi :

"Wagdaiwatya Icca carubhir,

Yaheram ste saraswatim,

Anretasyainasas tasya, 

Kurwana niskrtim param"

Kemudian didalam wira cerita uttara kandha sargah ke Sembilan terdapat juga cerita, bahwa Dewi Saraswati ada dilidahnya Sang Kumbhakarna. Ceritanya adalah sebagai berikut :

            Resi Waicrawa nikah sama Dewi Kaikaci, berputra empat orang, tiga orang laki-laki dan seorang wanita yaitu : 1. Sang Dasasirsa (Rahwana), 2. Sang Kumbhakarna, 3. Dewi Curpanata dan Sang Wibhisana.

            Ketiga laki-laki itu bertapa di gunung Gokarna. Oleh karena makin lama makin kukuh tapa mereka itu, maka datanglah Sang Hyang Brahma diiringi oleh para dewa sekalian, mendatangi ketiga pertapa itu. Mereka satu persatu ditanyai maksud dan tujuan bertapa, yang kemudian permintaan mereka akan dipenuhi oleh Sang Hyang Brahma. Pada saat itu Sang Rahwana memohon belas kasihan Sang Batara, supaya diberkati kekuasaan diseluruh pelosok dunia. Segala dewa Gandarwa, manusia dan segala makhluk yang hidup diatas dunia ini, supaya tunduk kepadanya. Permohonan ini lalu dikabulkan dan dipenuhi oleh Betara Brahma.

            Sang Wibhisana memohon belas kasihan Betara antara lain, supaya ia selalu berhati tenang dan suci bersih, banyak punya keutaaman dan taat melakukan yoga dan semadi. Ini pun telah dilukiskan oleh Betara. Kemudian Sang Hyang Brahma mendatangi Sang Kumbhakarna. Tetapi sebelum baginda tiba pada tempat Sang Kumbhakarna bertapa, lalu dengan segera para dewa itu menegurnya, sembahyang : "Yang Maha Kuasa Bhatara Brahma, sukalah kiranya Paduka Batara mendengar nasehat kami ini. Sekali-sekali janganlah kiranya Paduka Bhatara member anugrah kepada Sang Hyang Kumbhakarna itu, karna ia sekalisekali tidak akan bisa melihat isi-isi dunia ini, melainkan ia selalu akan membunuh manusia, orang-orang suci dan para dewa sekalian. Dari itu, niscayalah duni akan lebur, musnah olehnya". 

            Mendengar nasehat itu, lalu Sang Hyang Brahma dengan segera mengutus saktinya (istrinya) yakni Sang Hyang Saraswati, supaya ia segera masuk ke mulut Sang Kumbhakarna dan tinggal dilidahnya untuk melakukan gerak lidahnya, agar ucapan permohonannya tidak jelas. Sang Hyang Saraswati menurut perintah itu belakangan secara gaib, masuklah Sang Hyang Saraswati kemulut Sang Kumbhakarna itu, tinggal pada lidahnya. Setelah itu, datanglah Sang Hyang Brahma ketempat Sang Kumbhakarna, secara bersabda : " Duhai, Puyutku Sang Kumbhakarna, apakah yang engkau kehendaki, sehingga kau melakukan tapa yang begitu lama kukuhnya? Untuk ini inginlah aku memenuhinya, hendaknya supaya sama-sama dengan saudaramu itu". Kemudian menjawablah Sang Kumbhakarna, dengan suara pelan sembahnya : "Yang Maha Kuasa Batara, hamba mohon belas kasihan Batara hendaknya Paduka Batara supaya memberi hamba "Suptasada" (artinya tidak selalu). Permohonan itu lalu dipenuhi oleh Batara setelah itu maka Sang Hyang Saraswati keluar secara gaib dari mulut Sang Kumbhakarna, bersama-sama dengan para dewa lainnya, lalu mereka mengantar Sang Brahma kembali kekayangan. Sang Kumbhakarna sangat sedih dan kesal hati, menyesalkan permohonannya itu yang telah diucapkan, maksud sebenarnya adalah : " sukasada"(artinya suka selalu).

2.1.2 Mitologi Saraswati

  Dikisahkan Sang Watugunung adalah seorang anak dari kerajaan Sinta, yang rajanya bernama Dewi Sinta. Pada suatu hari karena saking nakalnya Sang Watugunung, mengakibatkan ibunya marah dan dipukullah kepalanya. Kemudian Sang Watugunung minggat dari rumah, menuju ka gunung, dansetelah berapa tahun, maka turunlah Bathara Brahma memberikan panugrahan kesaktian kepadanya.

Diceritakan dikemudian hari Sang Watugunung membuat kerajaan yang bernama kerajaan Watugunung, dan dengan kesaktiannya itulah Watugunung menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya seperti kerajaan landep, ukir, kulantir sampai dua puluh sembilan kerajaan termasuk kerajaan Sinta. Karena sama-sama tidak mengetahui diantara ibu dan anak, maka diambillah Sang Dewi Sinta sebagai istri oleh Sang Watugunung. Lama kelamaan Dewi Sinta mengetahui bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri, tercenganglah hatinya Dewi Sinta. Kemudian Dewi Sinta membuat daya upaya agar bisa berpisah dengan anaknya maka Dewi Sinta mengaku telah mengalami proses ngidam, dan yang diidamkan adalah agar Sang Watugunung mau melamar istri Bhatara Wisnu, serta menyuntingnya sebagai istri Sang Watugunung. Tidak lama kemudianSang Watugunung pergi ke Wisnu Loka, untuk untuk memohon kehadapan Bhatara Wisnu agar diperkenankan menyunting istri beliau dengan alasan bahwa istrinya yakni Dewi Sinta sedang ngidam dan mengidamkan istri Bhatara Wisnu sebagai madunya.

 Akhirnya Bhatara Wisnu menjadi murka, maka terjadilah peperangan yang hebat antara Sang Watugunung dengan Bhatara Wisnu. Tidak ada yang kalah, sama-sama saktinya. Kemudian Bhatara Wisnu memohon petunjuk Bhagawan Sukra, bagaimana cara mengalahkan Sang Watugunung, oleh karena demikian, Bhagawan Sukra mengutus muridnya bernama Bhagawan Lumanglang, untuk mengintai percakapan Sang Watugunung dengan istrinya tentang siapa yang dapat mengalahkan dirinya. Selanjutnya Bhagawan Lumanglang melaksanakan tugasnya, dengan merubah wujud dirinya menjadi seekor laba-laba. Akhirnya Bhagawan Lumanglang mendapatkan rahasia kelemahan Sang Watugunung bahwa, dia dapat dikalahkan oleh kekuatan Bhatara Wisnu dengan bentuk seekor , "Kurma". Dengan demikian datanglah Bhagawan Lumanglang kehadapan Bhatara Wisnu untuk melaporkan hasil intaiannya. Akhirnya Bhatara Wisnu menantang lagi Sang Watugunung untuk berperang lagi, dan dikisahkan dalam peperangan itu Bhatara Wisnu berubah menjadi seekor kurma, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari minggu-kliwon-wuku Watugunung, disebutlah hari Watugunung runtuh, atau kajeng kliwon pemelas tali. Sang Watugunung mengaku kalah kepada Bhatara Wisnu dan dia memohon kahadapan Bhatara Wisnu bahwa, kalau dia jatuh ditengah samudra, mohon diberikan matahari terik, agar dia tidak kedinginan, dan bila dia jatuh di daratan, mohon diberikan hujan agar dia tidak kepanasan.

Pada keesokan harinya, yaitu pada hari senin-umanis wuku Watugunung, disebut hari "candung watang", karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu, besoknya pada hari selasa-pahing wuku Watugunung, mayat Sang Watugunung diseret-seret, sehingga disebutlah pada hari itu , "paid-paidan". Keesokan harinya pada hari rabu-pon-wuku Watugunung, Sang Watugunung siuman kemudian dilihat oleh Bhatara Wisnu, Sang Watugunung dibunuh kembali, maka hari itu disebut hari "budha urip" atau "urip akejep". Melihat dengan keadaan demikian maka Sang Sapta Rsi merasa kasihan kepada Sang Watugunung, dan beliau kompromi untuk menghidupkan lagi Sang Watugunung. Secara bergantian beliau menghidupkan Sang Watugunung dan Bhagawan yang pertama adalah Bhagawan Redite,menghidupkan dengan cara mengucapkan japa mantranya sampai lima kali, baru hidup. Setelah hidup, lagi dibunuh oleh Bhatara Wisnu, selanjutnya Bhagawan Soma menghidupkan kembali dengan mengucapkan mantra sampai empat kali baru hidup, dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu. Kemudian Bhagawan Anggara menghidupkan dengan ucapan mantra tiga kali, dibunuh lagi, selanjutnya Bhagawan Budha yang menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tujuh kali, dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu, akhirnya datang Bhagawan Whraspati untuk mengucapkan mantra pengurip sebanyak delapan kali, dibunuh juga oleh Bhatara Wisnu.yang terakhir datanglah Bhagawan Sukra menghadap kehadapan Bhatara Wisnu serta memohon kepada beliau agar beliau tidak melakukan perbuatan himsa karma, karena beliau adalah seorang dewa, harus mau mengampuni dan tetap memberikan welas asih kepada semua insan di alam semesta ini. Atas nasehat Bhagawan Sukra demikian, maka Bhatara Wisnu menyadari bahwa manusia memilki kemampuan yang terbatas, oleh karena itulah dianugrahkanlah Bhagawan Sukra untuk menghidupkan Sang Watugunung selamanya. Kemudian Bhagawan Sukra mengucapkan mantra pengurip sebanyak enam kali, maka hiduplah kembali Sang Watugunung, dan hari itulah yang kemudian diebut dengan "urip kulantas" jatuh pada hari kamis-wage-wuku Watugunung. Dari saat itulah kesombongan Sang Watugunung mulai pudar, serta mulai bertobat pada dirinya untuk selama-lamanya.

Pada keesokan harinya, pada hari jumat-kliwon-wuku Watugunung, Sang Watugunung mulai menyucikan diri, melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi, untuk memohon pengampunan, dan memohon kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi serta hari itu disebut dengan "pengeredanan". Karena teguhnya Sang Watugunung melaksanakan tapa bratanya, maka keesokan harinya , sabtu-umanis-wuku Watugunung, ia dianugrahkan pengetahuan oleh Sang Hyang Widhi, maka pada hari itu disebut dengan "hari suci Saraswati".

2.1.3 Arti kata Saraswati

            Kata Saraswati berasal dari suku kata sara -- su -- wati, sedangkan suku kata "sara" dapat diartikan "panah", dan kata panah berasal dari kata "bana" kemudian menjadi kata banah yang diberikan arti "ketajaman adnyana" atau kecerdasan (kamus Bali-Kawi). Sedangkan suku kata "su", mengandung maksud luwih atau bagus, dan "wati" dapat diartikan "ayu". Dengan demikian makna dari hari Saraswati adalah "amoliha kepradnyanan sane mautama pacang anggen ngamolihang kasukertan". Maksudnya adalah, dengan dianugrahkan kecerdasan oleh Sang Hyang Widhi, maka manusia tersebut akan mampu menolong dirinya sendiri dari lembah kesengsaraan serta berwawasan kebijaksanaan sehingga mampu memilah mana yang benar dan yang tidak benar. Oleh karena itu, pada pelaksanaan hari suci Saraswati adalah merupakan memohon kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi, agar nantinya bisa melewati samudra kesengsaraan. Kata Saraswati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata "Sr" yang artinya mengalir. Saraswati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam.
            Di dalam RgVeda, Saraswati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan Saraswati. Saraswati dalam Susastra Hindu di Indonesia.Tentang Saraswati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Saraswati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).
Apabila seorang pemangku melakukan pemujaan pada hari Saraswati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut : Om Saraswati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada. Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Saraswati (n) namamyaham. (Saraswati 1-2.). Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada. Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu. Om Saraswati namotubhyam varade kama rupini, siddhirambha karisyami siddhir bhavantu mesada (Saraswatistava I) Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Saraswati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMU
                Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Saraswati juga disebut dengan "saradha" (yang menganugrahkan sari kehidupan) "wagisari" (dewi kebijaksanaan). Dan "bharati" (kebudayaan luhur atau pelaksana tapa brata yang sempurna). Di samping "brahmi" (sakti brahma dan savitri serta sebutan lainnya).

Sebagai dewi wagisari pada suatu ketika beliau ditugaskan untuk mengalihkan permohonan kumbakarna (raksasa pertapa adik rahwana) oleh siding para dewa. Permohonan kumbakarna telampau berat dan berlebihan bila dipenuhi bagi soroh raksasa pemenuhan itu dapat merusak konstelasi dan kedamaian semesta. Oleh karena itu dewi wagisari, ditugaskan untuk mengalihkan permohonannya melalui menempati lidah kumbakarna ketika permohonannya disampaikan. Menyimpang dari maksudnya semula, saat ia menyampaikan permohonan kepada brahma atas tapanya yang tumbuh. Ia memohon : 'anugrahi hamba agar dapat tidur terus menerus selama bertahun-tahun". Demikian dikisahkan dalam Ramayana, terkaiat dengan keberadaan saraswati sebagai dewi kebijaksanaan dan juga dewi wacana. Tanpa pengendalian yang baik atas tutur kata kita, oleh kebijaksanaan, kemurnian nurani apa yang kita ucapkan dapat berubah dari maksud semula. Tidak jarang, salah dalam bertutur kata dapat berbuat dendam, permusuhan, bahkan mala petaka bagi kita. Sebaliknya, savitri (juga nama lain dari dewi saraswati) titisan saraswati sebagai putri raja yang suaminya dalam keadaan sekarat menjelang ajal, berhasil meluluhkan hati dewa yang yama melalui wacana-wacana pengetahuannya. Yama pun tak punya pilihan lain, kecuali mengabulkan segala permohonan savitri.

            Selain itu Hari saraswati merupakan perenungan dan pengevaluasian kembali apakah ilmu pengetahuan itu sudah benar-benar diamalkan sesuai fungsinya. ''Kenapa kita diminta diam sejenak dan pantang membaca serta menulis saat hari raya Saraswati?" tujuannya jelas agar kita punya ruang yang lapang untuk mengevaluasi diri, Pada Saniscara Wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi itu diaturkan upacara Saraswati.

2.2 Simbol dan Makna Dewi Saraswati

Beliau disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk diatas teratai dengan berwahanakan seekor angsa (Hamsa) atau seekor merak, berlengan empat dengan membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kiri membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan gitar membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kin membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan veena atau bermudra memberkahi.

Makna dan simbol-simbol ini adalah:

  1. Berkulit putih, bermakna: sebagai dasar ilmu pengetahuan (vidya) yang putih, bersih dan suci.
  2.  Kitab/pustaka ditangan kiri, bermakna: Semua bentuk ilmu dan sains yang bersifat sekular. Tetapi walaupun vidya (ilmu pengetahuan spiritual) dapat mengarahkan kita ke moksa, namun avidya (ilmu pengetahuan sekular jangan diabaikan dulu). Seperti yang dijelaskan Isavasya-Upanisad: "Kita melampaui kelaparan dan dahaga melalui avidya, kemudian baru melalui vidya meniti dan mencapai moksa."
  3. Wina, bermakna : seni, musik, budaya dan suara AUM. Juga merupakan simbol keharmonisan pikiran, budhi, kehidupan dengan alam lingkungan. Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.
  4. Akshamala/genitri/tasbih di tangan kanan, bermakna: Ilmu pengetahuan spiritual itu lebih berarti daripada berbagai sains yang bersifat sekular (ditangan kiri). Akan tetapi bagaimanapun pentingnya kitab-kitab dan ajaran berbagai ilmu pengetahuan, namun tanpa penghayatan dan bakti yang tulus, maka semua ajaran ini akan mubazir atau sia-sia.Genitri (aksamala/tasbih) melambangkan ilmu pengetahuan bersifat kekal,tak terbatas, tidak akan ada akhirnya dan habis-habisnya untuk dipelajari.
  5. Wajah cantik jelita dan kemerah-merahan, bermakna: Simbol kebodohan dan kemewahan duniawi yang sangat memukau namun menyesatkan (avidya).
  6. Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah. Angsa (Hamsa), melambangkan: Bisa menyaring air dan memisahkan mana kotoran dan mana yang bisa dimakan, mana yang baik mana yang buruk, walaupun berada di dalam air yang kotor dan keruh maupun Lumpur, (simbol vidya).
  7. Burung Merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merak , bermakna: berbulu indah, cantik dan cemerlang biarpun habitatnya di hutan. Dan bersama dengan angsa bermakna sebagai wahana (alat, perangkat, penyampai pesan-pesanNya).
  8.  Bunga Teratai, melambangkan kesucian ilmu pengetahuan yang murni, tidak tercelaBunga Teratai/Lotus, bermakna: bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan bunga yang indah walaupun hidupnya di atas air yang kotor. Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati.

2.3 Hari Suci Saraswati

Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya. Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati.  Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ lstri Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh." 

Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebelahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

2.4    Upakara dan Tata Cara Pelaksanaan  Saraswati

2.4.1 Upakara/Banten  Saraswati

            Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Adapun sajian-sajiannya adalah tiga buah tumpeng dijadikan satu dulang, tutupnya sama seperti yang dipersembahkan kepada Dewa Pitra, serta raka galahan, sedan tiga warna dijadikan satu dulang, juga tutupnya sama seperti yang dipersembahkan kepada Dewa Pitara, raka dan jajan serba bergoreng. Pujaannya ialah canang Saraswati, canang payasan, pisang kembang, pisang jati, suci selengkapnya, berisi ikan bebek putih yang dijadikan betutu. Canang gantal, burat wangi, geti-geti, geringsing, salaran, pablonyoh selengkapnya. Pabersihan, tatebasan, prayascita, daksina, penyeneng dan segehan agung.  

               Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak member pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan rasio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.

               Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.

               Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dan sesayut Saraswati, rayunan putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci bersih dan bija (beras) kuning.

2.4.2 Tata Cara Pelaksanaan Saraswati

  1. Upakara yang munggah di kemulan :Banten pejati asoroh, Banten saraswati, Canang pasucian.
  2. Upakara pada lontar atau buku : Soda putih kuning, Banten Saraswati, Canang pasucian.
  3. Upakara ayaban : Banten pejati asoroh, suci alit, Banten ayaban senistane tumpeng tujuh bungkul, Sesayut amerta dewa, Sesayut puspa dewa, Sesayut pabersihan, Sesayut pasupati, Sesayut yoga sidhi, Banten prayascita, beyakawonan, rantasan warna merah, pasucian, Segehan nasi abang 9 tanding.

Adapun tatacara pelaksanaanya yaitu :

Asana : mengatur sikap, sikap duduk, dengan sikap padmasana, Ardha padmasana, silasana, dan lain sebagainya. Kaki kanan, harus ada didepan kaki kiri, atau di atas kaki kiri.

Pranayama : mengatur jalannya nafas, a. Puraka, menarik nafas dari hidung kiri, dengan mantram : Aum, Ung namah. b. Kumbaka, menahan nafas sebentar, dengan mantra : Aum, mang namah. c. recaka, nafas keluar dari hidung kanan dengan mantram : Aum, Ang namah.

Karo sodana : menyucikan kedua belah tangan. Sebelum kedua belah tangan itu melakukan tugasnya untuk bersembahyang, maka terlebih dahulu harus tangan itu dibersihkan atau disucikan, dengan pelaksanaan sebagai berikut : kedua belah tangan ditumpukkan dan ditengadahkan di muka pusat. Kapertama, tangan kanan harus ada ada di atas tangan kiri, dengan mantram : Aum kara sodhamam swaha. Kemudian diganti, dengan tangan kiri diatas tangan kanan, dengan mantram : Aum kara ati sodhamam swaha.

Tri sandhya : pelaksanaannya : kedua belah tangan dicakupkan, di atas pusat, dan ujung jari supaya ada di muka dada. Mantram ini harus dilakukan atau di ucapkan oleh semua peserta, sebanyak enam bait. Boleh juga yang diucapkan bait kapertama saja, tiga kali dan di akhiri dengan bait ke enam. Atau bait kepertama satu kali dan bait ke enam satu kali. Hal ini menurut keadaan para peserta yang melakukan persembahyangan.

Paramasanti (seruan damai) : Om santi, santi, santi Om

Setelah pelaksanaan di atas itu selesai, sekarang akan dimulai persembahyangan / pemujaan bersama.

Sebelum persujudan dilakukan, maka bunga-bunga atau kwangen yang akan dipaka mabakti, harus dibersihkan/ disucikan, dengan cara-cara sbb : semua sarana itu harus di angkat dengan katupan kedua belah tangan, sampai setinggi ujung rambut, dan kedua jempol jari itu ada di tengah-tengah alis. Kemudian disertai dengan mantra pengantar : Om puspa danta ya namah.

Setelah selesai, kemudian harus melaksanakan persembahyangan denga cara sbb :

Pada waktu ini, mantram-mantram hanya diucapkan oleh orang yang sudah bersih (mawinten).

Sembah puyung : dengan mantram : om atma tatwatma suddha mam swaha.

Sembah dengan bunga putih : yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Widhi atau Sang Hyang Siwa Raditya, dengan mantram : om adityasya paramjyoti, Rakta teja namastute, sweta pangkaja madyastham, bhaskara ya nama namah swaha, om rang Hring sah paramaiwa aditya ya namah swaha.

Sembah dengan bunga merah : yang ditujukan kehadapan ida sang hyang widhi / sang hyang brahma prajapati, dengan mantram : om ang brahma prajapati srestah, swayam bhuh waradam guru, padma yoni catur waktra, brahma sakayam uccyato, om hrang ring sah brahma prajapati ya namah swaha.

Sembah dengan kwangen atau bunga aneka warna, yang ditujukan kehadapan ida bhatara samodaya, termasuk sakti-saktiNya. Terutama ida bhatara yang dihaturi piodalan di kahyangan, saraswati puja, durga puja, dan sebagainya. Dewa sebagai perwujudan sang hyang widhi maupun dewa para leluhur, dengan maksud memohon keselamatan, kesejahtraan, kejayaan desa, bangsa dan Negara, disertai dengan mantra pengantar.

Om namo dewasya adhisthana ya,

Sarwa wyapi wai siwaya,

Padmasana eka pratista ya, 

Ardhanareswari ya namo namah swaha.

Om anugraha manoharam , 

Dewa datha nugrahakam, 

Hyarcamam sarwa pujanam, 

Namah sarwa nugrahakam. 

Om Dewa Dewi mahasidhi, 

Yajnekartam ulatidam, 

Laksmi siddhinca dirghyuh, 

Nirwigna suka wrdhitah.

Om hayu werdhi yasa wrdhi,

Wrdhi prajna sukacriyam, 

Dharma sanatana wrdhicca

Santute (me) sapta wrdhi. 

Yate meru stito dewam, 

Yawat gangga mahitala, 

Candrarka gagana tawat, 

Tawatwa wijayam bhawet 

Om Dhirhayur astu tat astu astu swaha. 

Sembah Puyung : Om Dewa suksma Parama Cintya ya namah. om ksama sampurna ya namah swaha. Om santi, Santi, Santi Om.

Semadhi (Meditasi) : mengheningkan cipta. Ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, leluhur, orang berjasa, pahlawan dan lain sebagainya.

Setelah selesai pelaksaan diatas, kemudian petugas (pemangku atau pemuka agama) harus nyiratang tirta dan memberi pekuluh dan bija-bijanya.

Sambang Samadhi : mempersembahkan kidung atau kekawin yang isinya memuja dan memuji Ida Sang Hyang Widhi atau perujudannya.

            Mantra Saraswati diatas bertujuan untuk memohon restu kesaktian, panjang usia, keselamatan, melukat dosa dan memohon kepandaian didalam bidang kesusastraan dan dibidang lainnya.

2.5 Rangkaian Hari Suci Saraswati (Banyu Pinaruh) 

            Mengingat hari raya Saraswati adalah merupakan hari terakhir pada wuku terakhir. Karena Banyu Pinaruh tersebut adalah hari kebalikan dari hari raya Saraswati, yaitu jatuh pada hari pertama pada Wuku pertama. Dalam perayaan Saraswati kita melakukan introspeksi diri yang dimaksud disini adalah kita memulai kegiatan baru dimana filosofinya terdapat dalam pupuh pucung tembang Bali "Bibi Anu".  Dalam baris yang pertama yang berbunyi " Bibi anu lamun payu luas manjus"  maksudnya sebelum kita memulai kegiatan baru hendaknya dengan rasa kasih yang dimulai dari dalam diri kita terlebih dahulu, agar kita bisa mengasihi orang lain. Demikianlah yang tersirat dalam kutipan pupuh tersebut.

            Secara etimologi Banyu Pinaruh berasal dari kata "Banyu"  yang artinya air, toya, tirta (air suci) yang merupakan inti sari. sedangkan "Pinaruh(Bina Weruh)"  atau pengetahuan bathiniah, artinya Pengawruh yang mempunyai makna bahwa pengetahuan dalam hidup kita adalah hal yang paling utama. Dengan melaksanakan penyucian bathin semalam suntuk melalui samya Samadhi serta disucikan dengan intisari pengetahuan suci (banyu pinaruh) diharapkan tumbuh dan berkembangnya kebijaksanaan kita. Jadi dari rangkaian hari-hari saraswati dan banyu pinaruh diharapkan suatu pemaknaan serta disikapi dengan melaksanakan tapa-brata-samadhi dengan baik dan benar, guna menyucikan dan menselaraskan pikiran, ucapan dan perbuatan. Sadhana inilah yang memungkinkan saripati pengetahuan (jnana) tersublimasi menjadi kebijaksanaan (prajnya). Hal ini tersirat pada pupuh ginanti baris terakhir yang berbunyi "Keweruhin luwir senjata ne dadi prabotang sai, keanggen ngaruruh Merta, saenun ceninge urip. Bentuk prosesi upacara berupa mengaturkan labaan nasi pradnyan, panca pala, catur warna kembang dalam air kumkuman dan loloh dengan enam rasa yang berbeda. Pada dasarnya sad rasa itu memberikan gambaran secara singkat bagaimana sebenarnya hidup itu (pahit getirnya hidup). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Rangkaian upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan. Upacara Banyu Pinaruh ini juga dirangkaikan dengan mandi di laut yang bertujuan untuk membersihkan diri, pikiran dan jiwa dari segala jenis mala. Saraswati dan banyu pinaruh diibaratkan paket yang tak terpisahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun