Mohon tunggu...
AA Diah Indrayani
AA Diah Indrayani Mohon Tunggu... Dosen - write with love

beginner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filosofi Saraswati

30 Januari 2022   09:13 Diperbarui: 30 Januari 2022   09:41 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian didalam wira cerita uttara kandha sargah ke Sembilan terdapat juga cerita, bahwa Dewi Saraswati ada dilidahnya Sang Kumbhakarna. Ceritanya adalah sebagai berikut :

            Resi Waicrawa nikah sama Dewi Kaikaci, berputra empat orang, tiga orang laki-laki dan seorang wanita yaitu : 1. Sang Dasasirsa (Rahwana), 2. Sang Kumbhakarna, 3. Dewi Curpanata dan Sang Wibhisana.

            Ketiga laki-laki itu bertapa di gunung Gokarna. Oleh karena makin lama makin kukuh tapa mereka itu, maka datanglah Sang Hyang Brahma diiringi oleh para dewa sekalian, mendatangi ketiga pertapa itu. Mereka satu persatu ditanyai maksud dan tujuan bertapa, yang kemudian permintaan mereka akan dipenuhi oleh Sang Hyang Brahma. Pada saat itu Sang Rahwana memohon belas kasihan Sang Batara, supaya diberkati kekuasaan diseluruh pelosok dunia. Segala dewa Gandarwa, manusia dan segala makhluk yang hidup diatas dunia ini, supaya tunduk kepadanya. Permohonan ini lalu dikabulkan dan dipenuhi oleh Betara Brahma.

            Sang Wibhisana memohon belas kasihan Betara antara lain, supaya ia selalu berhati tenang dan suci bersih, banyak punya keutaaman dan taat melakukan yoga dan semadi. Ini pun telah dilukiskan oleh Betara. Kemudian Sang Hyang Brahma mendatangi Sang Kumbhakarna. Tetapi sebelum baginda tiba pada tempat Sang Kumbhakarna bertapa, lalu dengan segera para dewa itu menegurnya, sembahyang : "Yang Maha Kuasa Bhatara Brahma, sukalah kiranya Paduka Batara mendengar nasehat kami ini. Sekali-sekali janganlah kiranya Paduka Bhatara member anugrah kepada Sang Hyang Kumbhakarna itu, karna ia sekalisekali tidak akan bisa melihat isi-isi dunia ini, melainkan ia selalu akan membunuh manusia, orang-orang suci dan para dewa sekalian. Dari itu, niscayalah duni akan lebur, musnah olehnya". 

            Mendengar nasehat itu, lalu Sang Hyang Brahma dengan segera mengutus saktinya (istrinya) yakni Sang Hyang Saraswati, supaya ia segera masuk ke mulut Sang Kumbhakarna dan tinggal dilidahnya untuk melakukan gerak lidahnya, agar ucapan permohonannya tidak jelas. Sang Hyang Saraswati menurut perintah itu belakangan secara gaib, masuklah Sang Hyang Saraswati kemulut Sang Kumbhakarna itu, tinggal pada lidahnya. Setelah itu, datanglah Sang Hyang Brahma ketempat Sang Kumbhakarna, secara bersabda : " Duhai, Puyutku Sang Kumbhakarna, apakah yang engkau kehendaki, sehingga kau melakukan tapa yang begitu lama kukuhnya? Untuk ini inginlah aku memenuhinya, hendaknya supaya sama-sama dengan saudaramu itu". Kemudian menjawablah Sang Kumbhakarna, dengan suara pelan sembahnya : "Yang Maha Kuasa Batara, hamba mohon belas kasihan Batara hendaknya Paduka Batara supaya memberi hamba "Suptasada" (artinya tidak selalu). Permohonan itu lalu dipenuhi oleh Batara setelah itu maka Sang Hyang Saraswati keluar secara gaib dari mulut Sang Kumbhakarna, bersama-sama dengan para dewa lainnya, lalu mereka mengantar Sang Brahma kembali kekayangan. Sang Kumbhakarna sangat sedih dan kesal hati, menyesalkan permohonannya itu yang telah diucapkan, maksud sebenarnya adalah : " sukasada"(artinya suka selalu).

2.1.2 Mitologi Saraswati

  Dikisahkan Sang Watugunung adalah seorang anak dari kerajaan Sinta, yang rajanya bernama Dewi Sinta. Pada suatu hari karena saking nakalnya Sang Watugunung, mengakibatkan ibunya marah dan dipukullah kepalanya. Kemudian Sang Watugunung minggat dari rumah, menuju ka gunung, dansetelah berapa tahun, maka turunlah Bathara Brahma memberikan panugrahan kesaktian kepadanya.

Diceritakan dikemudian hari Sang Watugunung membuat kerajaan yang bernama kerajaan Watugunung, dan dengan kesaktiannya itulah Watugunung menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya seperti kerajaan landep, ukir, kulantir sampai dua puluh sembilan kerajaan termasuk kerajaan Sinta. Karena sama-sama tidak mengetahui diantara ibu dan anak, maka diambillah Sang Dewi Sinta sebagai istri oleh Sang Watugunung. Lama kelamaan Dewi Sinta mengetahui bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri, tercenganglah hatinya Dewi Sinta. Kemudian Dewi Sinta membuat daya upaya agar bisa berpisah dengan anaknya maka Dewi Sinta mengaku telah mengalami proses ngidam, dan yang diidamkan adalah agar Sang Watugunung mau melamar istri Bhatara Wisnu, serta menyuntingnya sebagai istri Sang Watugunung. Tidak lama kemudianSang Watugunung pergi ke Wisnu Loka, untuk untuk memohon kehadapan Bhatara Wisnu agar diperkenankan menyunting istri beliau dengan alasan bahwa istrinya yakni Dewi Sinta sedang ngidam dan mengidamkan istri Bhatara Wisnu sebagai madunya.

 Akhirnya Bhatara Wisnu menjadi murka, maka terjadilah peperangan yang hebat antara Sang Watugunung dengan Bhatara Wisnu. Tidak ada yang kalah, sama-sama saktinya. Kemudian Bhatara Wisnu memohon petunjuk Bhagawan Sukra, bagaimana cara mengalahkan Sang Watugunung, oleh karena demikian, Bhagawan Sukra mengutus muridnya bernama Bhagawan Lumanglang, untuk mengintai percakapan Sang Watugunung dengan istrinya tentang siapa yang dapat mengalahkan dirinya. Selanjutnya Bhagawan Lumanglang melaksanakan tugasnya, dengan merubah wujud dirinya menjadi seekor laba-laba. Akhirnya Bhagawan Lumanglang mendapatkan rahasia kelemahan Sang Watugunung bahwa, dia dapat dikalahkan oleh kekuatan Bhatara Wisnu dengan bentuk seekor , "Kurma". Dengan demikian datanglah Bhagawan Lumanglang kehadapan Bhatara Wisnu untuk melaporkan hasil intaiannya. Akhirnya Bhatara Wisnu menantang lagi Sang Watugunung untuk berperang lagi, dan dikisahkan dalam peperangan itu Bhatara Wisnu berubah menjadi seekor kurma, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari minggu-kliwon-wuku Watugunung, disebutlah hari Watugunung runtuh, atau kajeng kliwon pemelas tali. Sang Watugunung mengaku kalah kepada Bhatara Wisnu dan dia memohon kahadapan Bhatara Wisnu bahwa, kalau dia jatuh ditengah samudra, mohon diberikan matahari terik, agar dia tidak kedinginan, dan bila dia jatuh di daratan, mohon diberikan hujan agar dia tidak kepanasan.

Pada keesokan harinya, yaitu pada hari senin-umanis wuku Watugunung, disebut hari "candung watang", karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu, besoknya pada hari selasa-pahing wuku Watugunung, mayat Sang Watugunung diseret-seret, sehingga disebutlah pada hari itu , "paid-paidan". Keesokan harinya pada hari rabu-pon-wuku Watugunung, Sang Watugunung siuman kemudian dilihat oleh Bhatara Wisnu, Sang Watugunung dibunuh kembali, maka hari itu disebut hari "budha urip" atau "urip akejep". Melihat dengan keadaan demikian maka Sang Sapta Rsi merasa kasihan kepada Sang Watugunung, dan beliau kompromi untuk menghidupkan lagi Sang Watugunung. Secara bergantian beliau menghidupkan Sang Watugunung dan Bhagawan yang pertama adalah Bhagawan Redite,menghidupkan dengan cara mengucapkan japa mantranya sampai lima kali, baru hidup. Setelah hidup, lagi dibunuh oleh Bhatara Wisnu, selanjutnya Bhagawan Soma menghidupkan kembali dengan mengucapkan mantra sampai empat kali baru hidup, dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu. Kemudian Bhagawan Anggara menghidupkan dengan ucapan mantra tiga kali, dibunuh lagi, selanjutnya Bhagawan Budha yang menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tujuh kali, dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu, akhirnya datang Bhagawan Whraspati untuk mengucapkan mantra pengurip sebanyak delapan kali, dibunuh juga oleh Bhatara Wisnu.yang terakhir datanglah Bhagawan Sukra menghadap kehadapan Bhatara Wisnu serta memohon kepada beliau agar beliau tidak melakukan perbuatan himsa karma, karena beliau adalah seorang dewa, harus mau mengampuni dan tetap memberikan welas asih kepada semua insan di alam semesta ini. Atas nasehat Bhagawan Sukra demikian, maka Bhatara Wisnu menyadari bahwa manusia memilki kemampuan yang terbatas, oleh karena itulah dianugrahkanlah Bhagawan Sukra untuk menghidupkan Sang Watugunung selamanya. Kemudian Bhagawan Sukra mengucapkan mantra pengurip sebanyak enam kali, maka hiduplah kembali Sang Watugunung, dan hari itulah yang kemudian diebut dengan "urip kulantas" jatuh pada hari kamis-wage-wuku Watugunung. Dari saat itulah kesombongan Sang Watugunung mulai pudar, serta mulai bertobat pada dirinya untuk selama-lamanya.

Pada keesokan harinya, pada hari jumat-kliwon-wuku Watugunung, Sang Watugunung mulai menyucikan diri, melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi, untuk memohon pengampunan, dan memohon kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi serta hari itu disebut dengan "pengeredanan". Karena teguhnya Sang Watugunung melaksanakan tapa bratanya, maka keesokan harinya , sabtu-umanis-wuku Watugunung, ia dianugrahkan pengetahuan oleh Sang Hyang Widhi, maka pada hari itu disebut dengan "hari suci Saraswati".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun