Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi AntaraKerangka Moralitas dan Tradisi (1)

10 Februari 2014   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392011905219505135

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi AntaraKerangka Moralitas dan Tradisi (1)


[caption id="attachment_321662" align="alignright" width="250" caption="sumber: vanzimi.wordpress.com"][/caption]

Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas. Karakteristik tersebut tampak, baik dalam bentuk perilakusehari-hari, konsep pemikiran, prinsip ideologis, perspektif terhadap kehidupan, maupun adat atau kebiasaan yang secara sadar maupun tidak sadar diturunkan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain hal-hal tersebut, aspek lain yang menjadi karateristik kelompok masyarakat adalah bahasa.


Bahasa sebagai media komunikasi, merupakan ciri paling menonjol dalam sebuah kelompok sosial. Berbicara mengenai bahasa, tentu saja tidak dapat lepas dari tinjauan sintaksis, semantik, dan semiotis, seba

b pada hakikatnya bahasa merupakan sistem tanda, dimana tanda tersebut mengacu pada sesuatu yang pada perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat Surabaya misalnya, sebagai kelompok sosial yang bersifat homogen, yang dalam hal ini berarti memiliki karakter dan latar belakang kultural yang sama, memiliki sebuah ‘kesepakatan’ yang tidak pernah mereka tulis dalam sebuah peraturan tertulis, yang ternyata masyarakatnya begitu memegang teguh kesepakatan tersebut. Hal yang perlu digaris-bawahi dalam hal homogenitas masyarakat Surabaya ini adal

ah hanya berlaku pada masyarakat ‘asli’ kelompok tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang sejak lahir berada di Surabaya. Dengan demikian, yang bersangkutan memliki kedekatan baik secara psikologis maupun kultural terhadap tumbuh kembang tradisi asli Surabaya sendiri.

Tradisi yang menonjol dari Surabaya itu sendiri adalah tradisi pisuhan, yakni merupakan ungkapan (lisan), atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan antar sesama masyarakat Surabaya yang jarak usianya ti

dak terlalu jauh. Meski kenyataannya tidak hanya muncul di Surabaya saja, namun, jika dilihat dari aspek historisnya, pisuhan bisa dikatakan tradisi lisan khas Surabaya, yang tidak bisa dilepaskan dari proses tumbuh kembang kota Surabaya.Akan tetapi, pada perkembangannya, pisuhan seringkali dikaitkan dengan aspek-aspek moralitas dan norma-norma kesopanan. Ini lantaran kebanyakan masyarakat hanya memandang pisuhan dari aspek leksikalitasnya (makna asli, makna menurut kamus) saja tanpa memandang muatan-muatan historis yang terkandung didalamnya.

Terlepas dari persoalan tersebut, pada hakikatnya pisuhan adalah simbol yang mengacu pada karakteristik watak masyarakat Surabaya yang keras, penuh perlawanan, dan spontan. Berangkat dari sinilah, maka seharusnya pisuhan tidak berimplikasi negatif terhadap perspektif moralitas masyarakat Surabaya sendiri, meskipun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada pisuhan ini. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika pisuhan dipandang dari aspek historis.

Pisuhan dalam sudut pandang historis

Tak bisa dipungkiri, bahwa pisuhan sangat erat kaitannya dengan seksualitas. Salah satu pisuhan yang sudah tidak asing lagi adalah kata ‘jancuk’. Dalam perkembangan peradaban masyarakat yang begitu cepat, kata 'jancuk' menjadi populer. Pergeseran pengucapan tersebut diartikan maknanya oleh arek (panggilan akrab antar teman sebaya atau yang lebih tua kepada yang lebih muda) surabaya.

Walaupun ‘kental’ dengan unsur seksualitas namun 'jancuk' menjadi simbol aksen (pengucapan) dalam setiap aktifitas arek surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancuk menjadi kata pengobar semangat (motivator) pejuang selain kata Allahu Akbar. Hal ini bisa diperhatikan dalam film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, yang di dalamnya banyak digunakan kata-kata 'jancuk'.

Kata itu menjadi sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa sekaligus juga sebagai motivator. Pada zaman revolusi maupun pada orde baru, 'jancuk' menjadi ikon bagi arek arek surabaya. Inilah yang menyebabkan munculnya stigmatisasi terhadap masyarakat Indonesia, ketika mendengar 'jancuk', maka stereotip yang muncul adalah  bahwa si pengucapnya ialah bagian dari masyarakat Surabaya. Selain sebagi pengungkap rasa kesal, 'jancuk' pun sering diartikan sebagai ungkapan yang memiliki makna yang kotor (baca: tidak senonoh).

Di sinilah, 'jancuk' erat hubungannya dengan persoalan tabu atau tidak tabu, pantas tidak pantas, meskipun tak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Surabaya sendiri secara turun temurun sudah memberikan sebuah kesepakatan terhadap 'jancuk' itu sendiri. Kesepakatan tak tertulis itu adalah bahwa 'jancuk' merupakan kata yang tabu atau tidak pantas jika diucapkan.

Ini disebabkan adanya sebuah kesepakatan (tidak tertulis) yang juga berlaku di lingkungan sosial masyarakat Surabaya bahwa jancuk memiliki makna yang bersifat seksualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang masih (sangat) terikat dengan aturan-aturan moral yang disepakati bersama, unsur seksualitas sangat ditabukan, sangat tidak pantas untuk diucapkan, sehingga akan terasa ‘tidak wajar’ jika kata ini diucapkan begitu saja sebagai sarana komunikasi antar masyarakat.

Belum lagi hal ini didukung oleh asumsi bahwa kelompok masyarakat Surabaya adalah salah satu kelompok masyarakat yang berbudaya timur, yang menganggap seksualitas itu adalah sesuatu yang bersifat ‘sakral’. Jika 'jancuk' disejajarkan dengan asumsi masyarakat tersebut, maka perlu adanya jika 'jancuk' dimaknai secara etimologis. Masyarakat memberikan dasar etimologis yang berbeda-beda, kendati demikian tetap saja tidak ada sebuah legitimasi khusus yang secara tertulis terhadap asumsi tersebut.

Kendati begitu, seolah mengabaikan legitimasi tersebut, masyarakat Surabaya menganggap asumsi tersebut merupakan suatu kebenaran yang mereka wariskan secara turun temurun kepada generasi yang ada di bawahnya.Beberapa dari masyarakat Surabaya—dalam hal ini masyarakat yang berasal dari kampung-kampung lama di Surabaya—memiliki asumsi dan dasar etimologis yang berbeda-beda, warga Pelemahan misalnya, menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka.

Terlepas dari persoalan benar atau tidak benar, jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa secara etimologi, 'jancuk' merupakan akronim dari Marijan dan Ngencuk.

Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencuk.Asumsi lain yang mendasarkan 'jancuk' secara etimologis adalah anggapan bahwa 'jancuk' merupakan akronim dari bahasa Jawa yakni jaran (terj. kuda) dan ngencuk. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.

Pada intinya, secara historis, dapat dikatakan bahwa 'jancuk' sudah banyak digunakan oleh masyarakat Surabaya, bahkan ketika masa revolusi fisik. Hal ini mengacu pada fungsi utama 'jancuk' sendiri dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat Surabaya. Hanya saja, pada masa revolusi fisik, 'jancuk'—secara tidak langsung—dimanfaatkan sebagai ungkapan pemantik semangat.

Dalam pekembangannya, secara substansial 'jancuk' tidak mengalami pergeseran fungsi dan peran, yakni tetap sebagai sarana kekerabatan dalam masyarakat Surabaya. Meskipun dalam realisasinya, masih banyak pihak yang mengangap 'jancuk' sebagai pisuhan—suatu jenis ungkapan yang bermakna umpatan, kotor, dan tidak senonoh.

Beberapa sumber lain juga pernah menyinggung aspek historis dari 'jancuk' ini. Sebut saja misalnya tuturan dari masyarakat Ampel, Surabaya yang mengakui bahwa 'jancuk' sejatinya berasal dari bahasa Arab, da'suk yang berarti 'tinggalkan yang buruk'. Meski tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun hal ini cukup masuk akal jika dikaitkan dengan era masuknya Islam ke pantai timur Pulai Jawa. Sunan Ampel sebagai tokoh utama penyebaran Islam di Pulau Jawa lah yang disinyalir kerap menggunakan istilah tersebut.

Dari kata da'suk itulah kemudian terjadi penyesuaian dialek masyarakat, sehingga 'da'suk' berubah lafal pengucapannya menjadi 'dancuk' (dalam perkembangannya ini beruba menjadi 'jancuk'). 'Dancuk' ini pun kemudian dikaitkan dengan kereta basa (akronim bahasa Jawa) yang memiliki kepanjangan dandanono sing cucuk (terj. berubahlah menjadi yang lebih baik).

Sementara Sejarawan Surabaya, Edi Samson pernah mengatakan bahwa 'jancuk' juga berasal dari bahasa Belanda, "jantje ook' (terj. kamu juga). Frase ini sangat populer diucapkan oleh para pemuda Belanda di Surabaya pada era 1930-an. Pada perkembangannya, prokem era kolonial ini pun mengalami penyesuaian menjadi 'jancuk'. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun