Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi AntaraKerangka Moralitas dan Tradisi (1)

10 Februari 2014   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392011905219505135

Tak bisa dipungkiri, bahwa pisuhan sangat erat kaitannya dengan seksualitas. Salah satu pisuhan yang sudah tidak asing lagi adalah kata ‘jancuk’. Dalam perkembangan peradaban masyarakat yang begitu cepat, kata 'jancuk' menjadi populer. Pergeseran pengucapan tersebut diartikan maknanya oleh arek (panggilan akrab antar teman sebaya atau yang lebih tua kepada yang lebih muda) surabaya.

Walaupun ‘kental’ dengan unsur seksualitas namun 'jancuk' menjadi simbol aksen (pengucapan) dalam setiap aktifitas arek surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancuk menjadi kata pengobar semangat (motivator) pejuang selain kata Allahu Akbar. Hal ini bisa diperhatikan dalam film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, yang di dalamnya banyak digunakan kata-kata 'jancuk'.

Kata itu menjadi sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa sekaligus juga sebagai motivator. Pada zaman revolusi maupun pada orde baru, 'jancuk' menjadi ikon bagi arek arek surabaya. Inilah yang menyebabkan munculnya stigmatisasi terhadap masyarakat Indonesia, ketika mendengar 'jancuk', maka stereotip yang muncul adalah  bahwa si pengucapnya ialah bagian dari masyarakat Surabaya. Selain sebagi pengungkap rasa kesal, 'jancuk' pun sering diartikan sebagai ungkapan yang memiliki makna yang kotor (baca: tidak senonoh).

Di sinilah, 'jancuk' erat hubungannya dengan persoalan tabu atau tidak tabu, pantas tidak pantas, meskipun tak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Surabaya sendiri secara turun temurun sudah memberikan sebuah kesepakatan terhadap 'jancuk' itu sendiri. Kesepakatan tak tertulis itu adalah bahwa 'jancuk' merupakan kata yang tabu atau tidak pantas jika diucapkan.

Ini disebabkan adanya sebuah kesepakatan (tidak tertulis) yang juga berlaku di lingkungan sosial masyarakat Surabaya bahwa jancuk memiliki makna yang bersifat seksualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang masih (sangat) terikat dengan aturan-aturan moral yang disepakati bersama, unsur seksualitas sangat ditabukan, sangat tidak pantas untuk diucapkan, sehingga akan terasa ‘tidak wajar’ jika kata ini diucapkan begitu saja sebagai sarana komunikasi antar masyarakat.

Belum lagi hal ini didukung oleh asumsi bahwa kelompok masyarakat Surabaya adalah salah satu kelompok masyarakat yang berbudaya timur, yang menganggap seksualitas itu adalah sesuatu yang bersifat ‘sakral’. Jika 'jancuk' disejajarkan dengan asumsi masyarakat tersebut, maka perlu adanya jika 'jancuk' dimaknai secara etimologis. Masyarakat memberikan dasar etimologis yang berbeda-beda, kendati demikian tetap saja tidak ada sebuah legitimasi khusus yang secara tertulis terhadap asumsi tersebut.

Kendati begitu, seolah mengabaikan legitimasi tersebut, masyarakat Surabaya menganggap asumsi tersebut merupakan suatu kebenaran yang mereka wariskan secara turun temurun kepada generasi yang ada di bawahnya.Beberapa dari masyarakat Surabaya—dalam hal ini masyarakat yang berasal dari kampung-kampung lama di Surabaya—memiliki asumsi dan dasar etimologis yang berbeda-beda, warga Pelemahan misalnya, menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka.

Terlepas dari persoalan benar atau tidak benar, jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa secara etimologi, 'jancuk' merupakan akronim dari Marijan dan Ngencuk.

Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencuk.Asumsi lain yang mendasarkan 'jancuk' secara etimologis adalah anggapan bahwa 'jancuk' merupakan akronim dari bahasa Jawa yakni jaran (terj. kuda) dan ngencuk. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.

Pada intinya, secara historis, dapat dikatakan bahwa 'jancuk' sudah banyak digunakan oleh masyarakat Surabaya, bahkan ketika masa revolusi fisik. Hal ini mengacu pada fungsi utama 'jancuk' sendiri dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat Surabaya. Hanya saja, pada masa revolusi fisik, 'jancuk'—secara tidak langsung—dimanfaatkan sebagai ungkapan pemantik semangat.

Dalam pekembangannya, secara substansial 'jancuk' tidak mengalami pergeseran fungsi dan peran, yakni tetap sebagai sarana kekerabatan dalam masyarakat Surabaya. Meskipun dalam realisasinya, masih banyak pihak yang mengangap 'jancuk' sebagai pisuhan—suatu jenis ungkapan yang bermakna umpatan, kotor, dan tidak senonoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun