Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi AntaraKerangka Moralitas dan Tradisi (1)

10 Februari 2014   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392011905219505135

Beberapa sumber lain juga pernah menyinggung aspek historis dari 'jancuk' ini. Sebut saja misalnya tuturan dari masyarakat Ampel, Surabaya yang mengakui bahwa 'jancuk' sejatinya berasal dari bahasa Arab, da'suk yang berarti 'tinggalkan yang buruk'. Meski tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun hal ini cukup masuk akal jika dikaitkan dengan era masuknya Islam ke pantai timur Pulai Jawa. Sunan Ampel sebagai tokoh utama penyebaran Islam di Pulau Jawa lah yang disinyalir kerap menggunakan istilah tersebut.

Dari kata da'suk itulah kemudian terjadi penyesuaian dialek masyarakat, sehingga 'da'suk' berubah lafal pengucapannya menjadi 'dancuk' (dalam perkembangannya ini beruba menjadi 'jancuk'). 'Dancuk' ini pun kemudian dikaitkan dengan kereta basa (akronim bahasa Jawa) yang memiliki kepanjangan dandanono sing cucuk (terj. berubahlah menjadi yang lebih baik).

Sementara Sejarawan Surabaya, Edi Samson pernah mengatakan bahwa 'jancuk' juga berasal dari bahasa Belanda, "jantje ook' (terj. kamu juga). Frase ini sangat populer diucapkan oleh para pemuda Belanda di Surabaya pada era 1930-an. Pada perkembangannya, prokem era kolonial ini pun mengalami penyesuaian menjadi 'jancuk'. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun