Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilmu Uber

27 Juli 2016   08:38 Diperbarui: 27 Juli 2016   09:10 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah kali pertama saya memakai jasa Uber-layanan transportasi online berbasis aplikasi yang berasal dari San Fransisco, Amerika Serikat. Awalnya saya menolak untuk didaftarkan oleh teman karena sudah ada dua aplikasi serupa di handphone, namun akhirnya terbujuk juga dengan imingan gratis promo 50.000,- apalagi memang kebutuhan juga mendukung.

Singkat cerita minggu pagi kemaren saya sudah duduk manis di sebelah sang driver yang siap mengantar saya dan tiga orang teman menuju Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara. Perjalanan awal dari BSD membuat saya sedikit jengkel, karena menunggu cukup lama dan si driver tidak komunikatif sama sekali. Itu adalah persepsi yang salah pada mulanya, apalagi setelah perbincangan panjang terjadi dengan sang driver yang berasal dari Jakarta ini.

Sebut saja namanya Mardi (nama disamarkan). Dia dulunya adalah seorang sopir angkot yang sudah harau-melintang di aspal jalanan ibukota Jakarta. Kesehariannya tidak pernah lepas dari polusi, teriakan mencari penumpang, kemacetan yang tiada berkesudahan dan teriknya matahari yang berpeluhkan keringat dibadan. Namun, “mimpi buruk” kehidupan itu tidak disangka-sangka sudah dia akhiri beberapa bulan belakangan ini dan bonus pun akan dia tuai dalam lima tahun ke depan dengan segala upaya keras yang sedang dia lakoni.

Kini, polusi ibu kota itu berganti ac dengan jendela mobil tertutup rapat, tidak ada tarik urat leher mencari penumpang, sekarang aplikasi canggih yang terdapat di handphone berbalut karet itu menjadi teman setianya dalam mencari nafkah, terik siang matahari yang menantang dapat dia nikmati dibawah kemudi mobil Avanza seri baru. Mimpi spektakuler itu mengubah drastis hidupnya.

Seperti biasa keingintahuanku menyeruak, ketika obrolan sudah dibuka berbagai pertanyaan pun akan mengalir deras dari mulut.

“Ini mobil owner saya mbak, bukan punya saya,” akunya ketika saya tanya lebih panjang.

Pak Mardi ini diajak oleh teman dekatnya untuk menjadi driver Uber beberapa bulan lalu. Tawaran yang datang padanya cukup menggiurkan. Dia difasilitasi satu unit kendaraan roda empat, aplikasi dan tinggal menunggu panggilan penumpang. Persyaratannya pun cukup mudah : KTP, SIM dan kunci mobil pun sudah ditangan. Perjanjiannya, setoran 250.000 setiap harinya, kontrak percobaan selama satu tahun, setelah evaluasi jika berkredibilitas akan lanjut empat tahun kedepan, nominal setoran naik dan dipenghujung kontrak berakhir dia sudah mempunyai hak penuh kepemilikan atas mobil itu. Menggiurkan bukan? Tidak pernah terbayang olehnya dalam beberapa tahun kedepan dia akan mempunyai sebuah mobil pribadi, tanpa DP dan tanpa persyaratan yang belibet minta maap.

“Jaminannya hanya kepercayaan mbak, karena teman yang bawa saya pasti mengenal dekat dengan saya pun kalau saya nanti bawa orang lagi untuk gabung,” jawabnya ketika aku tanya persyaratan yang hanya KTP dan SIM.

Yang juga menarik perhatian saya di sini adalah peluang usaha dari owner si bapak Mardi. Selain mempunyai lima mobil yang semuanya adalah mobil khusus buat Uber, sang owner pun juga merupakan seorang pekerja disalah satu perusahaan ternama di Jakarta. Uber, adalah bisnis sampingannya. Saya mencoba kali-kali kotor di otak, 250.000 x 5 mobil dalam sehari x 30 hari = nominal yang cukup besar dikurangi setoran mobil (jika masih cicilan). Sisanya masih tergolong lumayan untuk menambah asap dapur biar tetap ngebul.

Di sisi lain, saya melihat nilai peluang kerja yang ditawarkannya. Pak Mardi salah satu contohnya, tidak hanya semerta-merta setoran yang wajib setiap harinya namun pencapaian mobil yang sedang dia kendarai juga adalah motivasi utamanya.

“Pernah nombok ga pak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun