Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dua Butir Peluru

6 Oktober 2015   18:34 Diperbarui: 6 Oktober 2015   20:22 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Cerpen: Wahyudi El Panggabean

 

SETELAH menempuh perjalanan sekitar dua jam, pasukan pembrontak di bawah pimpinan Kapten Habiaran, tiba di kawasan Hutan Marancar.

“Kita istirahat!” perintah periwira berposltur tinggi tegap itu seraya membuka topinya. Keringatnya mengucur dari keningnya yang legam. Ia merogoh kantong celananya. Lantas, mengamati kertas lusuh. Lembaran peta sederhana. Pasukan Habiaran, berencana bergabung dengan pasukan Kapten Sibuea yang bergeliya di kawasan Hutan Sipirok serta pasukan Kapten Simamora di kaki Gunung Sanggarudang.

Di kejauhan terlihat puncak Gunung Sibualbuali, tertutup awan. Pasukan Habiaran rebahan di bawah pepohonan hapinis yang tumbuh menjulang di celah hutan tambiski. Kecuali Sersan Siregar, tetap berdiri dengan senjata di bahunya. Ia tidak acuh dengan perintah komandanya. Dengan posisi berdiri, ia, setengah bersandar pada pohon. Wajahnya menyiratkan kekesalan. Dia terdiam.

Dua bulan sudah rasa kesal merasukinya. Kebenciannya kepada Habiaran memuncak usai pertempuran sengit menghadapi Pasukan Mobrig Semarang, di kawasan Hutan Pangarongan. Kala itu, perintah menyerang, menciutkan nyali pria dua anak ini. Untungnya, Sersan Daulay, masih sempat “melindunginya”.

“Kenapa dengan kau Regar?!” sang Kapten bertanya saat pandang mereka bertemu. Habiaran berdiri seraya mengalungkan tali senjata ke bahu kirinya. Regar menanggapinya dingin, ia merasa komandannya tidak sedang menanyai seorang bawahan. Tetapi menggertak. 

“Tampaknya, Anda dendam dengan saya?!” cecar Habiaran dan melangkah satu meter. Jarak mereka menjadi sekitar 5 meter. Semua mata prajurit lain tertuju pada komandan mereka.

“Tidak ada apa-apa Komandan!” sahut Regar.

“Kalau begitu Anda istirahat!” seru Habiaran, menurunkan nada suaranya. Tiba-tiba, burung-burung di pepohonan mulai berhenti berkicau. Dari jarak sekitar  100 meter arah utara seekor  Siburuk, mendadak terbang rendah.

“Siaga!” perintah sang Kapten.

Semua prajurit, sontak berdiri dengan senjata di genggaman masing-masing. Lewat teropong Habiaran melihat gerakan seorang musuh di balik pohon goti. Habiaran langsung melesetakan tembakan dan berteriak: “Serang…!” Pasukannya berpencar.

Musuh  merespon dengan tembakan senjata mesin. Pertempuran kian sengit. Deru letusan sahut-menyahut di belantara hutan. Tetapi, pasukan Habiaran yang menguasai medan terus maju menyerang.

Lima prajurit, Habiaran terluka. Pertempuran  terus berlanjut. Regar  diperintahkan maju. Tetapi dia malah mundur.

Habiaran berteriak: “Maju……Regarrrr….maju…!” Toh, Regar memilih berlindung ke arah pohon katuko. Saat itulah punggungnya tertembus peluru. Regar terkapar. Serangan musuh kian gencar. Habiaran terus memerintahkan menyerang. Untung saja pasukan Sibuea yang sudah mendekati area tempur segera melancarkan bantuan serangan. Akhirnya, pasukan musuh mundur ke arah hutan Pahae.Pertempuran yang berlangsung sekitar 25 menit itu, dimenangkan Pasukan Habiaran yang merenggut sepuluh nyawa prajurit musuh.

Dua orang prajurit Habiaran tewas.Enam orang terluka.  Regar terluka parah. Darah segar masih mengucur dari punggungnya. Ia sekarat, kemudian tewas…

“Saya kira, peluru yang menembus punggung ayahmu, dari senjata Kapten Habiaran. Bukan tembakan musuh. Tetapi, belum pasti juga, Bere. Karena pertempuran itu begitu mendadak, Lagi pula sudah 17 tahun peristiwa itu,” ujar Pak Laung. “Namun, sebutir peluru itu telah cukup membuat kau dan kakakmu, Rohani menjadi yatim. Syukurlah! Ibumu memilih tetap menjanda demi kalian.

Sekarang tak perlu kau pikirkan itu lagi. Semuanya sudah menjadi takdir. Aku dan oppungmu sudah melarang ayahmu ikut bergerillya, mengingat kau masih kecil. Tapi,dia tetap dengan pendiriannya. Ikut perang. Perang saudara yang telah membuat banyak anak menjadi yatim dan wanita menjadi janda. Tetapi, yaaahh…,sudahlah, Bere. Allah telah mengatur garis  hidup seseorang,“ kata Pak Laung memberi nasehat kepada ponakannya itu.

“Belajarlah yang baik. Agar kelak, kau seperti yang dicita-citakan ayahmu. Dia selalu menceritakanmu. Dia sangat membanggakanmu.  Pesanku: tolong hilangkan sikap dendam dalam jiwamu. Sekarang pulanglah!” kata Pak Laung.

Syafri masih merenung di kursi rotan rumah pamannya.

“Iya Tulang, saya pulang dulu,” kata Syafri dengan mata berkaca-kaca.

“Satu hal yang harus kau ingat Syafri: Kapten Habiaran itu seorang patriot. Itu kesamaannya dengan ayahmu.Kalau tidak  karena keberaniannya menghadapi pasukan musuh di hutan Batangtoru, kampung ayahmu itu akan tinggal kenangan. Tentara pusat sudah berencana membakar kampung itu,” kata Pak Laung.

Sebulan lagi siswa Kelas III SMA Negeri Padangsidempuan akan menghadapi ujian akhir. Syafri yang sejak lama bercita-cita menjadi polisi sudah memantapkan persiapannya. Tubuhnya yang atletis, tinggi tegap akan menjadi modal baginya usai lulus SMA. Kuartal II kemarin nilainya lumayan bagus, rata-rata 8,1.  Prestasi ini berkat fasilitas belajar yang cukup dari ibunya.

Harta warisan dari oppungnya, cukup baginya dari delapan rumah sewa dan  tiga pintu kios di Pasar Kota Sidempuan.  Ibunya, bekerja sebagai pedagang kain dan Rohani, kakak satu-satunya juga menikah dengan Harahap pedagang perhiasan emas.

Memilih jurusan SOS, di SMA agar Syafri tetap diajar Pak Panggabean guru idolanya yang selalu menginspirasinya dalam mata pelajaran Sejarah Kebangsaan. Dari Pak Panggabean, Syafri banyak tahu tentang perang Gerillya yang bertujuan mendirikan Negara Sumatera. Di Sumatera Utara, pemberontakan PRRI Permesta di tahun 1959 itu dimotori Kolonel Mahludin Simbolon. Perwira AD kharismatik ini memimpin pembrontakan dan membakar semangat generasi muda memanggul senjata ke kawasan hutan belantara. "Strategi Perang Gerillya," digunakan tentara daerah untuk menghadapi "Tentara Pusat" yang lebih tangguh

“Presiden Soekarno, terlalu mengistimewakan Pulau Jawa. Itu yang memicu solidaritas nepotisme di Sumatera,” kata Pak Panggabean yang membuat kelas Syafri hening. “Saat itulah semangat perlawanan generasi muda di daerah kita ini berkobar. Banyak pemuda yang gugur demi cita-cita kesejahteraan untuk kita sekarang…,” kata Pak Panggabean memandangi Syafri yang duduk di bangku depan. Wajahnya memerah….

Benar. Syafri tidak menghadapi banyak kendala saat tes masuk polisi di Komdak Sumatera Utara, Medan. Ia segera memasuki pendidikan di Dodiklat Polisi Sampali. “Untuk sementara waktu saya masuk tamtama dulu, Mak. Jika ada kesempatan nanti saya akan masuk Secapa,” kata Syafri, lewat sepucuk surat kepada ibunya. Perempuan bertubuh kurus berkulit putih itu, sempat menarik ujung selandangnya  menghapus titik air di sudut matanya, kala membaca surat Syafri. Surat anaknya.

Hari-hari yang melelahkan. Tetapi, bekerja sebagai polisi di markas Komdak Sumatera Utara dan bertugas sebagai pasukan patroli membuat Syafri bangga. Ia tampak gagah dengan seragam polisinya. Dia sering terlihat  hilir-mudik di keramaian dan lorong-lorong pertokoan Kawasan Sambu.

Kota Medan terus berkembang. Berkembang bukan saja di bdiang bisnis juga tingkat  kriminalitas, perjudian, serta peredaran minuman keras yang menyertainya. Tindak kejahatan terus mengalami eskalasi. Syafri tetap siap dengan tugasnya.

Sebuah warung kopi milik orang Tionghoa, di kawasan Sambu adalah tempat mangkal Syafri melepas kelelahan. Warung Kopi yang berdekatan dengan Terminal Sambu. Terminal Bus antar-kota  yang selalu ramai. Di terminal ini, seorang Pak Tua, adalah symbol jagoan, si Pak Tua ini juga sering mangkal di warung kopi ini. Dia disegani, banyak preman, polisi dan malah tentara.

Sekilas, wajahnya yang tua masih menyisakan wibawa. Meski usianya, mungkin sudah melewati angka 60-an, posturnya masih tegap. Berjalan sedikit pincang. Mitos soal jagoan ala pak Tua  membuat Syafri ciut juga. Selama ini, Pak Tua selalu ramah kepada Syafri juga sering memberi informasi kejahatan. Syafri diam-diam menyusuri kesibukan Pak Tua di luar jam ngobrolnya di warung kopi.

“Sebenarnya, Pak Tua itu mengkordinir preman. Mereka menjadikan para sopir sudako dan pedagang kecil sebagai korban pemerasan dan bulan bulanan,” bisik Buyung, pedang martabak di emperen warung kopi itu,  suatu siang.

Syafri mulai menjaga jarak. Tetapi,  terus mengikuti jejak-jejak kegiatan si pak Tua. Hingga suatu saat

dia memergoki Pak Tua tengah menempeleng seorang sopir sudako bertubuh krempeng. Syafri menghampiri kerumunan orang itu. Pak Tua tidak perduli.

“Kita sudah lama saling kenal, Pak. Jangan ganggu hidup saya,” kata Pak Tua di kerumunan orang-orang terminal.

“Saya Polisi Pak Tua,” kata Syafri memegang tangan Pak Tua. Tetapi, Pak Tua menyentakkan tangannya. Pak Tua segera berlalu dan berujar:  “Suatu saat Anda pasti kenal siapa saya…,” Pak Tua segera naik ke sudako menuju arah Pasar Pringgan.

Seorang opsir tentara yang menyaksikan peristiwa kecil mendatangi Syafri. “Sebaiknya Anda tidak usah ganggua dia. Dia itu pejuang kemerdekaan. Hargailah jasa-jasanya,” kata si Tentara. Syafri tersenyum sinis.

Keesokan harinya, Pak Tua ngobrol di warung kopi. Dia tampak berbicara soal kematian. Bercerita berapi-api sampai mengutip ayat-ayat Quran tentang kematian. Namun, saat Syafri muncul Pak Tua langsung diam. Kemudian pergi tanpa pamit dengan teman semejanya.  Ketiga teman semeja Pak Tua, pria 50-an yang sering mangkal di warung kopi itu, juga menyusul Pak Tua ke luar dari warung kopi. Syafri tak perduli. Ia memesan segelas kopi.

Jarum jam di dinding warung itu menunjuk angka tiga. Sore itu, Kota Medan tetap ramai, warung ulai sepi. Hanya ada Syafri, Liong—orang Tionghoa pemilik warung—dan Burhan, pelayan di warung itu.Tiba-tiba Tarigan, pria 50-an, muncul.

“Hei, Pak Polisi, bagaimana kalau kita main catur? Aku masih penasaran, bah! Kalah dua kosong pecan kemaren,” katanya.

“Boleh,” kata Syafri. “Malam mini saya tidak tugas.”

“Mainnnya, jangan sampai jam enam ya, Pak?!”  kata Liong saat mengambil kotak catur di atas lemari kue. Mereka main. Asyik tampaknya. Kali ini, giliran Syafri yang kalah. Kalah telak: dua-kosong, baru satu jam bermain.

“Bagaimana jika taruhannya kita tambah aja, Pak Tarigan? Biar lebih konsentrasi, aku?”  usul Syafri yang selalu fair dalam bermaijn catur.

“Okey,” sahut Tarigan mengelurakan uang lembaran lima ratusan. Kini, dua lembar uang lima ratusan terletak di atas papan catur, sisi kanan meja mereka.

Kopi mulai mendingin saat seorang pria tua berjalan oleng memasuki warung. Syafri yang duduk menghadap dapur warung tak melihat pria itu muncul. Tetapi, pandangan Tarigan yang rada heran membuat Syafri memalingkan pandangannya ke belakang. Mata mereka bertemu. Syafri mulai waswas.

Mata Pak Tua benar-benar memerah.  Semacam raut kemarahan memancar di wajah kehitaman itu.  Pak Tua mendekati meja mereka.

Syafri tetap bertahan dengan mengumpulkan nyali. Syafri berlagak tak acuh.

"Kalian Berjudi! Bisa dihentikan?!” Pak Tua membentak. Aroma tuak menguar dari mulutnya.

"Saya polisi Pak Tua,” kata Syafri seraya berdiri.

“Saya juga tentara, meski sudah pensiun, hahahahah haha haa ahahaa,” Pak Tua seperti mau oleng.

“Sudahlah Pak Syafri, kita berhenti saja,” kata Tarigan gemetaran.

“Hentikan! Anda tahu saya bukan hanya bekas tentara. Juga bekas pembunuh lawan dan kawan. Kawan saya saja saya tembak mati, jika coba-coba lawan saya hahhha…haha hahaha haha,” bicara Pak Tua membuat Syafri penasaran. Saatnya mengorek informasi, dari orang mabuk, pikir Syafri.

“Jika Bapak pernah membunuh kawan, kawan Bapak yang mana yang  Bapak bunuh?”

“Ohhhh, Anda belum kenal siapa saya ya? Ha…hahahaha hahaha… Sayalah pembunuh Sersan Siregar di Hutan Lubukraya. Dia anak buah saya, tetapi selalu melawan hahahaha…”

Darah Syafri berdesir. Jantungnya berdegup cepat. “Oke, Pak!” katanya. “Saya mohon maaf atas kejadian kemarin di terminal. Sekarang baru saya kenal Bapak,” kata Syafri. Wajah Syafri pucat saat berlutut di depan Pak Tua yang ganti menduduki kursinya.

“Oke, saya maafkan Anda. Makanya, Anda jangan terlalu sombong…hahahahahaha ha ha haha". Syafri mengangguk, ciut.

Tak enak rasanya melihat seorang polisi berlutut di kaki seorang pria tua. Seorang jagoan? Atau seorang pejuang kemerdekaan atau seorang pembrontak, barang kali. Malah, terakhir mengaku sebagai pembunuh.

Tarigan mengembalikan kotak catur ke atas lemari kue saat Sayfri melangkah pelan ke toilet. Syafri kemudian membisiki Liong.

“Mohon jangan tutup warung sebelum pak Tua Pergi. Biar saja dia duduk di situ. Apapun yang dia minta, kasih saja! Aku yang bayar,” ujar Syafri.

"Pak Polisi takut ya?” bisik Liong. Syafri terdiam.

“Pak Tua, saya pulang dulu, ya? Minta rokok, minum atau apa saja, saya yang bayar,” kata Syafri. Pak Tua tertawa lagi. Kemudian melambaikan tangan kirinya dengan gemulai.

Syafri bergegas ke markas.  Dia segera mengambil senjata yang tergantung di dinding di atas  mejanya. Dia memeriksa senjata. Kemudian mengisinya dengan sebutir peluru. Cukup sebutir. Dia tarik picunya dan melaju dengan sepeda motor dinasnya, sepeda motor Honda Kijang 90 cc, menuju warung kopi.

Dari jarak tiga meter, Syafri melesatkan tembakan ke dada kanan Pak Tua. Letusan itu menggema hingga ke terminal. Pak Tua tersungkur. Darah segar, darah perjuangan, mengucur membasahi baju hijaunya yang lusuh. Baju kebanggaan masa silam itu kini tergenang darah. Pak Tua tewas di tempat. Suasana heboh.

Dalam tempo sepuluh menit empat petugas CPM tiba di TKP. Syafri digelandang segera  dengan mobil jip terbuka.

"Hanya sebutir peluru Pak Hakim. Sebutir peluru untuk membalas kematian ayah saya....," kata Syafri di sidang Mahkamah Militer, Medan.....

Pekanbaru,  Desember 2006

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun