Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dua Butir Peluru

6 Oktober 2015   18:34 Diperbarui: 6 Oktober 2015   20:22 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darah Syafri berdesir. Jantungnya berdegup cepat. “Oke, Pak!” katanya. “Saya mohon maaf atas kejadian kemarin di terminal. Sekarang baru saya kenal Bapak,” kata Syafri. Wajah Syafri pucat saat berlutut di depan Pak Tua yang ganti menduduki kursinya.

“Oke, saya maafkan Anda. Makanya, Anda jangan terlalu sombong…hahahahahaha ha ha haha". Syafri mengangguk, ciut.

Tak enak rasanya melihat seorang polisi berlutut di kaki seorang pria tua. Seorang jagoan? Atau seorang pejuang kemerdekaan atau seorang pembrontak, barang kali. Malah, terakhir mengaku sebagai pembunuh.

Tarigan mengembalikan kotak catur ke atas lemari kue saat Sayfri melangkah pelan ke toilet. Syafri kemudian membisiki Liong.

“Mohon jangan tutup warung sebelum pak Tua Pergi. Biar saja dia duduk di situ. Apapun yang dia minta, kasih saja! Aku yang bayar,” ujar Syafri.

"Pak Polisi takut ya?” bisik Liong. Syafri terdiam.

“Pak Tua, saya pulang dulu, ya? Minta rokok, minum atau apa saja, saya yang bayar,” kata Syafri. Pak Tua tertawa lagi. Kemudian melambaikan tangan kirinya dengan gemulai.

Syafri bergegas ke markas.  Dia segera mengambil senjata yang tergantung di dinding di atas  mejanya. Dia memeriksa senjata. Kemudian mengisinya dengan sebutir peluru. Cukup sebutir. Dia tarik picunya dan melaju dengan sepeda motor dinasnya, sepeda motor Honda Kijang 90 cc, menuju warung kopi.

Dari jarak tiga meter, Syafri melesatkan tembakan ke dada kanan Pak Tua. Letusan itu menggema hingga ke terminal. Pak Tua tersungkur. Darah segar, darah perjuangan, mengucur membasahi baju hijaunya yang lusuh. Baju kebanggaan masa silam itu kini tergenang darah. Pak Tua tewas di tempat. Suasana heboh.

Dalam tempo sepuluh menit empat petugas CPM tiba di TKP. Syafri digelandang segera  dengan mobil jip terbuka.

"Hanya sebutir peluru Pak Hakim. Sebutir peluru untuk membalas kematian ayah saya....," kata Syafri di sidang Mahkamah Militer, Medan.....

Pekanbaru,  Desember 2006

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun