Darah Syafri berdesir. Jantungnya berdegup cepat. “Oke, Pak!” katanya. “Saya mohon maaf atas kejadian kemarin di terminal. Sekarang baru saya kenal Bapak,” kata Syafri. Wajah Syafri pucat saat berlutut di depan Pak Tua yang ganti menduduki kursinya.
“Oke, saya maafkan Anda. Makanya, Anda jangan terlalu sombong…hahahahahaha ha ha haha". Syafri mengangguk, ciut.
Tak enak rasanya melihat seorang polisi berlutut di kaki seorang pria tua. Seorang jagoan? Atau seorang pejuang kemerdekaan atau seorang pembrontak, barang kali. Malah, terakhir mengaku sebagai pembunuh.
Tarigan mengembalikan kotak catur ke atas lemari kue saat Sayfri melangkah pelan ke toilet. Syafri kemudian membisiki Liong.
“Mohon jangan tutup warung sebelum pak Tua Pergi. Biar saja dia duduk di situ. Apapun yang dia minta, kasih saja! Aku yang bayar,” ujar Syafri.
"Pak Polisi takut ya?” bisik Liong. Syafri terdiam.
“Pak Tua, saya pulang dulu, ya? Minta rokok, minum atau apa saja, saya yang bayar,” kata Syafri. Pak Tua tertawa lagi. Kemudian melambaikan tangan kirinya dengan gemulai.
Syafri bergegas ke markas. Dia segera mengambil senjata yang tergantung di dinding di atas mejanya. Dia memeriksa senjata. Kemudian mengisinya dengan sebutir peluru. Cukup sebutir. Dia tarik picunya dan melaju dengan sepeda motor dinasnya, sepeda motor Honda Kijang 90 cc, menuju warung kopi.
Dari jarak tiga meter, Syafri melesatkan tembakan ke dada kanan Pak Tua. Letusan itu menggema hingga ke terminal. Pak Tua tersungkur. Darah segar, darah perjuangan, mengucur membasahi baju hijaunya yang lusuh. Baju kebanggaan masa silam itu kini tergenang darah. Pak Tua tewas di tempat. Suasana heboh.
Dalam tempo sepuluh menit empat petugas CPM tiba di TKP. Syafri digelandang segera dengan mobil jip terbuka.
"Hanya sebutir peluru Pak Hakim. Sebutir peluru untuk membalas kematian ayah saya....," kata Syafri di sidang Mahkamah Militer, Medan.....
Pekanbaru, Desember 2006