Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dua Butir Peluru

6 Oktober 2015   18:34 Diperbarui: 6 Oktober 2015   20:22 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Satu hal yang harus kau ingat Syafri: Kapten Habiaran itu seorang patriot. Itu kesamaannya dengan ayahmu.Kalau tidak  karena keberaniannya menghadapi pasukan musuh di hutan Batangtoru, kampung ayahmu itu akan tinggal kenangan. Tentara pusat sudah berencana membakar kampung itu,” kata Pak Laung.

Sebulan lagi siswa Kelas III SMA Negeri Padangsidempuan akan menghadapi ujian akhir. Syafri yang sejak lama bercita-cita menjadi polisi sudah memantapkan persiapannya. Tubuhnya yang atletis, tinggi tegap akan menjadi modal baginya usai lulus SMA. Kuartal II kemarin nilainya lumayan bagus, rata-rata 8,1.  Prestasi ini berkat fasilitas belajar yang cukup dari ibunya.

Harta warisan dari oppungnya, cukup baginya dari delapan rumah sewa dan  tiga pintu kios di Pasar Kota Sidempuan.  Ibunya, bekerja sebagai pedagang kain dan Rohani, kakak satu-satunya juga menikah dengan Harahap pedagang perhiasan emas.

Memilih jurusan SOS, di SMA agar Syafri tetap diajar Pak Panggabean guru idolanya yang selalu menginspirasinya dalam mata pelajaran Sejarah Kebangsaan. Dari Pak Panggabean, Syafri banyak tahu tentang perang Gerillya yang bertujuan mendirikan Negara Sumatera. Di Sumatera Utara, pemberontakan PRRI Permesta di tahun 1959 itu dimotori Kolonel Mahludin Simbolon. Perwira AD kharismatik ini memimpin pembrontakan dan membakar semangat generasi muda memanggul senjata ke kawasan hutan belantara. "Strategi Perang Gerillya," digunakan tentara daerah untuk menghadapi "Tentara Pusat" yang lebih tangguh

“Presiden Soekarno, terlalu mengistimewakan Pulau Jawa. Itu yang memicu solidaritas nepotisme di Sumatera,” kata Pak Panggabean yang membuat kelas Syafri hening. “Saat itulah semangat perlawanan generasi muda di daerah kita ini berkobar. Banyak pemuda yang gugur demi cita-cita kesejahteraan untuk kita sekarang…,” kata Pak Panggabean memandangi Syafri yang duduk di bangku depan. Wajahnya memerah….

Benar. Syafri tidak menghadapi banyak kendala saat tes masuk polisi di Komdak Sumatera Utara, Medan. Ia segera memasuki pendidikan di Dodiklat Polisi Sampali. “Untuk sementara waktu saya masuk tamtama dulu, Mak. Jika ada kesempatan nanti saya akan masuk Secapa,” kata Syafri, lewat sepucuk surat kepada ibunya. Perempuan bertubuh kurus berkulit putih itu, sempat menarik ujung selandangnya  menghapus titik air di sudut matanya, kala membaca surat Syafri. Surat anaknya.

Hari-hari yang melelahkan. Tetapi, bekerja sebagai polisi di markas Komdak Sumatera Utara dan bertugas sebagai pasukan patroli membuat Syafri bangga. Ia tampak gagah dengan seragam polisinya. Dia sering terlihat  hilir-mudik di keramaian dan lorong-lorong pertokoan Kawasan Sambu.

Kota Medan terus berkembang. Berkembang bukan saja di bdiang bisnis juga tingkat  kriminalitas, perjudian, serta peredaran minuman keras yang menyertainya. Tindak kejahatan terus mengalami eskalasi. Syafri tetap siap dengan tugasnya.

Sebuah warung kopi milik orang Tionghoa, di kawasan Sambu adalah tempat mangkal Syafri melepas kelelahan. Warung Kopi yang berdekatan dengan Terminal Sambu. Terminal Bus antar-kota  yang selalu ramai. Di terminal ini, seorang Pak Tua, adalah symbol jagoan, si Pak Tua ini juga sering mangkal di warung kopi ini. Dia disegani, banyak preman, polisi dan malah tentara.

Sekilas, wajahnya yang tua masih menyisakan wibawa. Meski usianya, mungkin sudah melewati angka 60-an, posturnya masih tegap. Berjalan sedikit pincang. Mitos soal jagoan ala pak Tua  membuat Syafri ciut juga. Selama ini, Pak Tua selalu ramah kepada Syafri juga sering memberi informasi kejahatan. Syafri diam-diam menyusuri kesibukan Pak Tua di luar jam ngobrolnya di warung kopi.

“Sebenarnya, Pak Tua itu mengkordinir preman. Mereka menjadikan para sopir sudako dan pedagang kecil sebagai korban pemerasan dan bulan bulanan,” bisik Buyung, pedang martabak di emperen warung kopi itu,  suatu siang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun