“Siaga!” perintah sang Kapten.
Semua prajurit, sontak berdiri dengan senjata di genggaman masing-masing. Lewat teropong Habiaran melihat gerakan seorang musuh di balik pohon goti. Habiaran langsung melesetakan tembakan dan berteriak: “Serang…!” Pasukannya berpencar.
Musuh merespon dengan tembakan senjata mesin. Pertempuran kian sengit. Deru letusan sahut-menyahut di belantara hutan. Tetapi, pasukan Habiaran yang menguasai medan terus maju menyerang.
Lima prajurit, Habiaran terluka. Pertempuran terus berlanjut. Regar diperintahkan maju. Tetapi dia malah mundur.
Habiaran berteriak: “Maju……Regarrrr….maju…!” Toh, Regar memilih berlindung ke arah pohon katuko. Saat itulah punggungnya tertembus peluru. Regar terkapar. Serangan musuh kian gencar. Habiaran terus memerintahkan menyerang. Untung saja pasukan Sibuea yang sudah mendekati area tempur segera melancarkan bantuan serangan. Akhirnya, pasukan musuh mundur ke arah hutan Pahae.Pertempuran yang berlangsung sekitar 25 menit itu, dimenangkan Pasukan Habiaran yang merenggut sepuluh nyawa prajurit musuh.
Dua orang prajurit Habiaran tewas.Enam orang terluka. Regar terluka parah. Darah segar masih mengucur dari punggungnya. Ia sekarat, kemudian tewas…
“Saya kira, peluru yang menembus punggung ayahmu, dari senjata Kapten Habiaran. Bukan tembakan musuh. Tetapi, belum pasti juga, Bere. Karena pertempuran itu begitu mendadak, Lagi pula sudah 17 tahun peristiwa itu,” ujar Pak Laung. “Namun, sebutir peluru itu telah cukup membuat kau dan kakakmu, Rohani menjadi yatim. Syukurlah! Ibumu memilih tetap menjanda demi kalian.
Sekarang tak perlu kau pikirkan itu lagi. Semuanya sudah menjadi takdir. Aku dan oppungmu sudah melarang ayahmu ikut bergerillya, mengingat kau masih kecil. Tapi,dia tetap dengan pendiriannya. Ikut perang. Perang saudara yang telah membuat banyak anak menjadi yatim dan wanita menjadi janda. Tetapi, yaaahh…,sudahlah, Bere. Allah telah mengatur garis hidup seseorang,“ kata Pak Laung memberi nasehat kepada ponakannya itu.
“Belajarlah yang baik. Agar kelak, kau seperti yang dicita-citakan ayahmu. Dia selalu menceritakanmu. Dia sangat membanggakanmu. Pesanku: tolong hilangkan sikap dendam dalam jiwamu. Sekarang pulanglah!” kata Pak Laung.
Syafri masih merenung di kursi rotan rumah pamannya.
“Iya Tulang, saya pulang dulu,” kata Syafri dengan mata berkaca-kaca.