“Siapa?” Tanya Muri. Sutri menatapnya.
“Ah, tak apa-apa, Mas. Paling orang yang punya ladang sebelah kita,” katanya. Berusaha mencegah suaminya yang gelagatnya akan beranjak melihat ke luar. Dari jarak 10 meter terdengar orang menstarter sepeda motor.
Muri segera ke luar rumah. Ia tak sempat melihat jelas ciri orang dan ciri sepeda motornya. Yang terlihat olehnya, sepertinya sepucuk pistol terselip di pinggang kanan pengendara sepeda motor itu.
“Hei! Pak Polisi, ya?” tanya Muri dengan suara keras. Muri memang selama ini sering berseloroh dengan polisi desa itu.
“Pak Polisi, rupanya. Saya kira, dia itu. Mungkin lagi patroli,” Muri terus bicara.
Sutri terdiam.
“Ku buatkan kopi, Mas?” ia mencoba mengalihkan perhatian suaminya.
“Tak usahlah. Aku sudah ngantuk,” kata Muri, yang kemudian telah pulas dengan cepat di atas tikar, di sisi anaknya yang terbuai mimpi.
Pagi harinya, Muri menemukan sebuah jam tangan merek Alba di ruang depan rumahnya. Sebuah tali jam yang terlepas juga masih tergeletak di sana. Ia langsung mengembalikan ingatannya pada saat ia pulang dari kota, malam itu.
Bukankah jam yang sama sering dilihatnya melingkar erat di pergelangan tangan Pak Polisi, temannya itu? Muri mulai curiga. Tetapi, ia takut. Jam itu disimpannya di dalam sebuah kotak kecil. Kemudian, diletakkannya di atas lemari.
Semenjak itu, Muri sering merenung. Sudah jarang pula ia ke warung. Suatu hari, saat kepergok polisi itu di sana, ia hanya tersenyum. Si Polisi itu juga. Ia mencoba menatap lengan kiri si Polisi. Jam yang persis ditemukannya, masih ada.