“Suami Ibu, benar ‘kan? berkawan dengan Marmo, preman desa ini?”
Sutri mengangguk, takut.
“Marmo itu pengedar narkoba. Suami Ibu juga ikut.”
Sutri terdiam. Ia heran, kenapa bukan Marmo yang ditangkap. Kenapa mesti suaminya? Bukankah polisi mengatakan Marmo bekerjasama dengan suaminya? Bukankah malam setelah kejadian itu, Marmo yang pertama datang ke rumahnya setelah polisi yang menembak mati suaminya pergi? Tapi, tentu saja Sutri tak menanyakan itu kepada polisi.
“Sudah hampir sebulan kami dari Polres memburu suami Ibu dan Marmo. Berdasarkan laporan dari Pak Indar, petugas kami di desa ini, Marmo dan suami Ibu sudah lama bekerjasama. Malam itu, kami mencoba menangkapnya saat mereka baru selesai transaksi di warung depan ini,” kata polisi itu.
“Kami memberi tembakan peringatan dua kali. Tetapi, dia terus kabur. Arah ke pasar desa. Kami terus mencarinya. Sampai akhirnya kami dipandu Pak Indar mengintainya ke rumah Ibu di tengah perladangan sana. Pak Indar itu seorang polisi yang hebat, Bu! Dia begitu cepat tahu rumah Ibu dan langsung mengintai dan menembaknya. Untung saja, suami Ibu yang kena. Jika Ibu atau anak Ibu, kami bisa dituntut. Sekarang, tak ada kata ampun bagi pengedar narkoba. Jika mencoba lari, polisi akan bertindak!”
Sutri lemas dan pingsan di kursi depan meja polisi itu. Ia diangkat dan dibawa ke Puskesmas kecamatan.
Keesokan harinya, dia berkemas. Selamat tinggal, hamparan jagung. Untuk apa bertahan di sini. Pak Yakub saja sudah berubah semenjak peristiwa penembakan itu. Sebuah tas dijinjingnya. Ia berangkat bersama bocahnya menuju kota. Di dalam kantung tas, masih terselip alamat kerabat suaminya di kota, yang mereka bawa sewaktu meninggalkan desa di Jawa, setahun silam. Tujuan Sutri dan anaknya, ke alamat itu.
Hari telah pukul sepuluh malam ketika mereka diterima Yanto, kerabat suaminya itu, di rumahnya yang agak besar. Sutri merasa mendapat pertolongan luar biasa, ketika bertemu orang tua yang ramah, baik dan perhatian. Istrinya pun begitu baik. Paling tidak, ia akan menceritakan kisah suaminya dan semua kejadian yang menimpa dirinya, jika saatnya telah tepat. Ia disuruh beristirahat di kamar depan. Pekarangan rumah itu begitu luas. Ada garasi dan taman.
Suitri dan anaknya langsung menghempaskan keletihan di atas kasur yang empuk. Baru sekitar lima menit ia tertidur, saat deru mesin sepeda motor membangunkannya. Pintu dibuka Pak Yanto, saat tamu malam hari itu masuk. Masih ada rasa waswas di hati Sutri, saat mendengar kedatangan tamu bersepeda motor tengah malam. Walau ia telah menginap di rumah orang lain. Ia ke luar dari kamar. Mencari tahu siapa yang datang.
Begitu ia ke luar kamar, Pak Yanto menyambutnya dengan senyuman. “Ini dia, anak kita yang jadi polisi, Dik Sutri. Nanti, kalau ada masalah, dia yang akan mengurus.”