Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kabut Asap Riau Vs Jalan Tol

22 September 2015   18:53 Diperbarui: 22 September 2015   19:01 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk diketahui saja, menurut BPS Riau,tahun ini jumlah masyarakat miskin Riau meningkat drastis, 31.500 jiwa. Tahun 2014 jumlah masyarakat miskin di Riau 499.890 jiwa menjadi 531.390 di tahun 2015. Ironis.

Era sepintas Gubernur Riau Anas Ma’amun lebih tragis. Bukan rakyat justru pengusaha yang lebih dulu diperhatikannya. Sayangnya, baru sebatas memberi izin buat pengusaha untuk perluasan lahan kebun sawit di kawasan Kuantan, langkahnya dihentikan pula oleh KPK.

Pola yang terbangun selama ini, apa boleh buat, telah menjadikan sawit “berbuah” asap. Dan, Riau memang menangis. Pedih mata terpapar asap.

Bencana kabut asap, kali ini, terasa lebih awet. Kabut asap—sebagai polutan akibat tindakan pembakaran lahan—lebih kerasan mengisi ruang kehidupan. Asap bertahan di kurun sebulan.

Padahal, doa-doa sudah dirauf dari pekik tangis ribuan bayi dan wanita hamil. Tetapi, sepertinya tidak (lagi) didengar Tuhan. Pun lantunan doa via salat istisqa seraya pekik-gemuruh teriak demonstran, penghujat kekuasaan. Penyumpah-serapah penguasaha pembakar lahan. Hujan deras tak kunjung turun.

Hujan buatan? “High-cost! Bisa bangkrut negeri ini!” celutuk penguasa regional. Suaranya gemetar kala bicara soal anggaran. “Bayangkan, untuk sekadar menurunkan gerimis tipis di tepi kota Pekanbaru butuh Rp 9 miliar,” kilah seorang Journalist.

Pihak yang menjadikan bencana sebagai peluang juga berdoa. Tentu saja, doa mereka lebih menginspirasi kalangan sinis para facebooker: “Penjual Masker Naik Haji!” Bisa jadi. Jika bencana kabut asap terus berlanjut, malah asap masuk ke kamar tidur Pak Haji. Bukankah sikap kita adalah wujud doa paling makbul? Yang terjadi justru kontradiktif. Di satu sisi kita menghujat, di sisi lain kita memohon.

Kita, warga papa terus berjuang agar bencana segera berakhir. Sayangnya, sikap sebagian masyarakat plus sistem pengendali birokrasi, justru berpeluang menebar bencana. Berkebun sawit, bukti dari sikap kita yang doyan dengan cara-cara instan mengejar target sukses ekonomi.

Hidup sarwamateri, yang melindas semua prosedural tata ramah lingkungan. Without border! Lantak saja. Tak perduli hutan lindung, hutan gambut atau hutan kota. Biar lebih cepat dan praktis pakai paket hemat land claring. Bakar saja!

Penguasa, atau pengusaha. Manusia kota atau warga pinggiran sama saja. Yang penting….”Bakar-membakar” memang bagian dari budaya kita. Toh, konsekuensi pembakaran yah: asap! Nah, bencana kabut asap, mungkin hanyalah salah satu imbas keserakahan yang kita pertotonkan selama ini.

Tetapi, Tuhan tentu tidak bisa dikelabui. Penguasa alam tak pernah alpa menyimak keserakahan kita yang melumpuhkan fungsi alami hutan sebagai penyanggah alam, stabilisator alami wahana kehidupan segenap mahluk hidup, serta pengatur siklus turunnya hujan sebagai penyeimbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun