Syah saja. Di tahun yang sama BPS (Biro Pusat Statistik) Riau merilis data dengan 1, 49 juta hektare total luas perkebunan kelapa sawit di Riau. Justru tiga tahun berkutnya (tahun 2011) angka itu merebak ke posisi 2,3 juta hektare.
Bayangkan, dalam kurun 3 tahun eskalasi lahan perkebunan sawit di Riau mencapai 800 ribu hektar. Jika merujuk ke data tahun 2013 itu, dengan total luas perkebunan kelapa sawit Riau sekitar 2,3 juta hektere, itu artinya seperempat dari total perkebunan kelapa sawit Indonesia, ada di Riau.
Di atas kertas angka ini cukup menggiur bila ditilik dari komperasi jumlah penduduk Riau saat ini sekitar 5,5 juta jiwa. Jika diasumsikan, satu KK terdiri dari 5 orang, berarti setiap KK penduduk Riau rata-rata memiliki 2,5 hektare kebun kelapa sawit. Fantastis, bukan? Sepintas, terkesan betapa sejahteranya, penduduk Riau selama ini.
Riau: “Di bawah minyak, di atas minyak” motto yang kita agung-agungkan sejak lama. Tetapi bisa konyol jika dipakai sebagai analisis. Illustrasinya: dengan konsentrasi CPO sekitar 8,2 juta ton per tahun itu sama dengan setiap manusia Riau bisa bermandikan “hujan” CPO 2.500 liter atau sekitar setengah truk tangki setiap orang, setiap tahunnya.
Pertanyannya: berapa debet hujan yang dibutuhkan untuk membasuh bersih guyuran 2.500 liter minyak CPO di tubuh seorang manusia? Masalahnya, kini harga jual CPO benar-benar melorot.
Glamour roda perekonomian Riau dua dasa-warsa terakhir, tampaknya memang dilumasi komoditas kelapa sawit. Anugerah yang kita cicipi dari era kejayan ini. Sulit juga mendapatkan alibi untuk membantah keterlibatan suatu pihak.
Pihak yang tidak punya kebun sama sekali atau cukong, tuan takur atau konglomerat sawit berada pada siklus jaringan “per-sawit-an” ini. “Jangankan satu hektare kebun, sebiji buah sawit pun aku tak punya. Tapi, lahan toke itu, dulunya warisan moyangku yang kujual murah,” kata seorang awam desa.
“Kami seketurunan tak punya kebun. Tetapi kami beruntung umumnya anak kami diterima jadi buruh di perusahan perkebunan,” kata yang lain menimpali.
Lantas, siapa di antara kita yang tidak bersentuhan dengan mata rantai per-sawit-an alias si Pembakar lahan? Toh, operasional negeri ini didanai hamparan emas hijau itu. Padahal, dari segi kepemilikan kebun, fakta empirisnya lebih memperihatinkan. Konon sebagian besar masyarakat Riau, hanya menerima asap dari lahan sawit milik orang lain.
PTP Nusantara 5 contohnya, yang manjanjikan kehidupan ribuan buruh di atas hamparan kebun setara 78 ribu hektar. Artinya, ternyata, sebagian besar kita hanya menjadi sapi perahan PBS (Perkebunan Besar Swasta) dan kaum kapitalis.
Jika para kaum borjuis ini membakar lahan guna memenuhi keserakahan mereka, kita terimalah itu dengan lapang dada. Soalnya, sebagain besar kita juga hidup dari hasil sepak-terjang mereka. Sayangnya, semua pada tak berdaya, ketika bencana asap melanda. Terkapar.