Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kabut Asap Riau Vs Jalan Tol

22 September 2015   18:53 Diperbarui: 22 September 2015   19:01 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang tersirat di balik itu, perburuan “emas” gelondongan di hutan Riau disusul hamparan investasi komoditas kelapa sawit di bekas lahan-lahan sisa eksploitasi. Membakar lahan, hanyalah satu link dari mata rantai perburuan itu.

Pertanyaannya: dimana posisi masyarakat marginal Riau di era perburuan dalam tiga dasa warsa ini? Adakah mereka, menikmati hasil gemilang kayu 9 juta hektar hutan Riau yang kini sudah menjadi hamparan kebun sawit. Atau sebaliknya, berapa persen dari total kebun kelapa sawit Riau yang mahaluas itu merupakan milik masyarakat Riau?

Jawabnya sederna. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Saat ini warga perdesaan yang diimpit kesulitan hidup terpaksa/keranjingan melego lahan kebun karet mereka dengan harga murah kepada para cukong tanah, suruhan para kapitalis dari perkotaan untuk pengembangan kebun kelapa sawit mereka. (Kini, di kawasan Kampar Kiri, harga lahan kosong lebih murah dari sebungkus mie isntan. Hanya Rp 900/ meter).

Kasarnya, ketidakarifan pemimpin kita di Riau ini, tampaknya bukan hanya menambah angka kemiskinan dan kemelaratan, diduga kuat ikut berkontribusi atas munculnya bencana kabut asap yang kita nikmati hari ini. Mari kita lihat catatan sejarahnya.

Tidak berlebihan, menyebut ambisi mengeruk kekayaan Riau sekaligus mengorbankan rakyat, sudah dimulai sejak lama. ”Api” yang menjadi sumber asap hari ini, sudah membara sejak lama dalam sekam ketidakadilan sistem pemerintahan daerah. Jauh-jauh hari, sebelum era hamparan sawit, proyek pencetakan sawah sudah mengawali eskpolitasi ratusan ribu hektare hutan Riau atas nama kemiskinan.

Proyek siluman yang sudah dimulai sejak era Imam Munandar ini berobsesi menyulap petani Riau dari peladang menjadi petani sawah, dalam sekejap mata. Hutan ditebas, atas nama warga desa 1 hektar per-KK, sertfikat diagunkan ke bank, rencananya petani mengansur dari hasil panenan. Sesederhana itukah?

Toh, proyek irigasi langsung dibangun, walau dprediksi tidak berfungsi. Ratusan miliar dana tertabur. Hasilnya, dalih enteng pemerintah: “Masyarakat Riau tidak terbiasa bersawah, makanya proyek gagal total…”.

Belakangan, bau bangkai terendus jua. Ternyata, proyek yang berlangsung puluhan tahun via APBN itu, hanyalah strategi licik berburu “emas” di Hutan Riau. Illegal Logging. Hutan ludes warga desa ketiban banjir. Kini, eks lahan-lahan perburuan kayu itu tentu sudah jadi hamparan kebun sawit. Milik siapa?

Tiga Gubernur mencoba bermanis mulut buat warga miskin Riau. Modusnya, mengiming-imingi kesejahteraan dengan kepemilikan kebun kelapa sawit lewat ekonomi kerakyatan. Saleh Djasit, mengumbar janji muluk, kebun sawit dibangun dengan dana ratusan miliar dari APBD Riau. Toh, hingga Saleh diciduk KPK atas tuduhan korupsi dana pembelian mobil pemadam kebakaran hutan, kebun yang dijanjikan tak kunjung kelihatan.

Era Rusli Zainal memang era semarak sawit. Malah, jika kita mengamati pertumbuhan kebun kelapa sawit kala itu, sepertinya kita terlanjur lebih cinta materi ketimbang hidup berkelanjutan. Deskripsinya memang bertengger di angka-angka spektakuler.

Debut, eskalasinya meroket, mengingatkan saya dengan Dr. Agusnimar, M.Sc, seorang pakar pertanian Riau yang berbicara kepada media tahun 2008: “Jika kelapa sawit terus menjadi komoditas andalan Riau, tanpa memerhatikan tanaman karet, saya khawatir dampaknya sangat buruk” (Forum Kerakyatan, 2008).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun