Alam selalu mampu memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi, tak mampu memenuhi keserakahannya.
(Mahatma Gandhi)
PREMIS yang menyebut, rakyat Riau selalu “korban” kekayaan alamnya, dipertegas dalam sebulan terakhir, kala Riau kembali dilanda bencana kabut asap. Kabut, berupa pencemaran udara berat, diguga bersumber dari pembakaran lahan.
Membakar, tentu saja, metode paling praktis menangani land claring. Hemat waktu, hemat dana. Imbasnya, menebar paparan kabut asap yang mengisi sirkulasi udara. Mengganggu sistem pernafasan dan fungsi paru. Sehingga, tidak hanya berpotensi melumpuhkan berbagai aktivitas manusia. Pada konsentrasi dan ukuran partikel tertentu, asap justru menyebabkan kematian dini.
Artinya, sepanjang sejarah, baru wujud paparan asaplah hasil kekayaan Riau yang diterima secara adil dan merata oleh segenap warganya. Soal sumber asap bisa diperdebatkan. Apakah hutan Sumatera Selatan atau hutan Pelalawan. Daerah Jambi atau daerah Indragiri. Kawasan Rokan atau Kuantan. Terserah!
Hipotesis yang disepakati: pembakaran lahan yang dituding sebagai sumber asap, semata untuk memenuhi ambisi memperkaya diri dengan mengabaikan aspek tata-ramah lingkungan. Menganut teori jalan tol; “Jalan pintas mencapai tujuan, tak perduli orang lain menderita…”
Menelusuri dengan saksama, sumber bencana asap ini, bisa jadi menyusuri tali-temali gurita yang sudah mengakar sejak lama. Sindikasinya, tidak hanya bertaut dengan kebijakan-kebijakan pemimpin Riau sejak seperlima abad silam. Juga terjalin rapi membungkus iming-iming kesejahteraan buat warga Riau yang kemudian menjadi “korban”.
Asap yang kita hirup hari ini, diduga sebagai imbas konsfirasi itu. Konsfirasi yang menghalalkan tindakan ecologial violent (kekerasan lingkungan).
Konsfirasi yang menjadikan Riau sebagai ladang perburuan, merupakan strategi politik klasik yang diperankan secara politik. Hingga sempat mendudukkan dinasti militer: 5 jenderal di singgasana Gubernur Riau. Triknya, “pengamanan” aset (?).