Mohon tunggu...
Queenara
Queenara Mohon Tunggu... Lainnya - ⊂⁠(⁠(⁠・⁠▽⁠・⁠)⁠)⁠⊃

Sastra😾

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cerbung: Perempuan Melati (3)

29 September 2023   10:48 Diperbarui: 29 September 2023   10:52 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Keesokan harinya, kala matahari masih mengintip malu-malu, aku sudah terbangun dari tidurku, beranjak menuju jendela dan menikmati bau embun di pagi buta. Fajar pagi hari adalah yang paling aku suka, kehadirannya merupakan bentuk kasih sayang Tuhan padaku, karena masih memberikan kesempatan untuk menikmati hidup ini.

Aku sudah mandi dan bersiap, aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku di cermin tersebut. Rambut sebahuku yang berhias bandana putih, seragamku yang kebesaran tetapi nyaman digunakan, jaket putih yang memeluk tubuhku dengan hangat dan tas yang merangkul pundakku, aku sudah siap berangkat ke sekolah.

Seperti biasa, aku berangkat sekolah dengan jalan kaki. Namun, kali ini sedikit berbeda, rasanya aku menjadi lebih bersemangat dibanding hari-hari sebelumnya. Kakiku dengan riang melompat kecil, sedikit bersenandung senang, apakah mungkin karena aku bersemangat akan bertemu Bagas? Aih, tidak mungkin.

Dari gerbang sekolah aku sudah melihat Pak Abi berdiri tegap menyambut kedatangan para siswa, aku berhenti di hadapan beliau, memberikan senyum dan menundukkan badan, kulihat beliau membalas senyumku dengan ramah. 

Tepukan di bahuku membuatku menoleh ke arah samping, Bagas rupanya.

"Selamat pagi, Kak."

"Ya, selamat pagi juga, Bagas."

"Hari ini jadi kan?" tanyanya dengan raut wajah penasaran. Ya Tuhan, bagaimana bisa ada manusia yang sangat menggemaskan seperti Bagas.

"Hari ini jadi, nanti temui aku di tempat kemarin," pintaku.

"Siap laksanakan, Kak."

Aku membalas dengan tersenyum, kemudian berlalu karena kami berbeda tujuan, Bagas pergi ke lorong kanan sedangkan aku pergi ke lorong kiri.

Hari terasa berlalu begitu cepat, kini saatnya aku pergi ke kamar mandi lantai tiga untuk menemui Natia dan Bagas.

Hawanya masih sama seperti kemarin. Bau melati kian menyengat, aku sudah siap akan kehadiran Natia. Benar saja, sedetik kemudian Natia muncul tepat di hadapanku.

"Wah kamu menepati janji!" Natia terlihat girang, padahal yang kulakukan hanyalah datang ke tempat itu seperti perkataanku kemarin.

"Aku hanya datang kembali, mengapa kamu terlihat girang seperti itu?" tanyaku.

"Sejauh ini hanya kamu yang datang dan menepati janji. Sudah sembilan kali aku tertolak, dan kamu yang pertama kali menerima permintaanku," jelasnya.

"Halo, Bagas disini." Bagas muncul dari belakang, menyela pembicaraanku dengan Natia. Kini penampilannya yang menggunakan baju basket menambah kesan rupawan padanya. Mampu membuatku gagal fokus.

"Halo Kak, aku ingin berbicara dengan Kak Natia, apa bisa?" tanyanya.

"Tentu, ada yang ingin kau sampaikan?" jawabku. Aku dapat melihat wajah Bagas yang sumringah, mungkin setelah sekian lama akhirnya dia bisa berbicara dengan kakaknya.

"Aku ingin menyampaikan bahwa sampai saat ini aku masih rindu dengan Kak Natia, aku rindu dengan canda tawa Kak Natia, masakan rumahan Kak Natia, pelukan Kak Natia, suara merdu Kak Natia, semuanya deh. Aku mau ngucapin terima kasih sama Kak Natia, aku bangga banget punya Kak Natia, maafin Bagas karena belum bisa membanggakan Kak Natia, tapi Bagas janji, Bagas akan menjadi lelaki yang hebat dan bisa membuat Kak Natia bangga di alam sana. Itu aja yang mau aku sampaikan ke Kak Natia." Bagas berucap panjang sambil menangis, aku menoleh dan melihat Natia yang terlihat murung.

"Aku juga sayang kamu, Bagas. Kamu adik sekaligus temanku satu-satunya, aku akan selalu menjagamu dari kejauhan, mengawasimu, dan menyayangimu. Aku tau seberapa rindumu padaku, karena aku pun begitu. Aku ingin sekali menangis sambil memelukmu, tapi apalah dayaku, tidak bisa menentang takdir."

Aku mengucap ulang apa yang dikatakan Natia, yang membuat Bagas semakin menangis, "Sudah ya, Natia pasti semakin sedih melihatmu menangis. Lebih baik kita mulai rencananya."

Bagas mengangguk. Kemudian bangkit dengan semangat, "Demi Kak Natia."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun