Keesokan harinya, kala matahari masih mengintip malu-malu, aku sudah terbangun dari tidurku, beranjak menuju jendela dan menikmati bau embun di pagi buta. Fajar pagi hari adalah yang paling aku suka, kehadirannya merupakan bentuk kasih sayang Tuhan padaku, karena masih memberikan kesempatan untuk menikmati hidup ini.
Aku sudah mandi dan bersiap, aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku di cermin tersebut. Rambut sebahuku yang berhias bandana putih, seragamku yang kebesaran tetapi nyaman digunakan, jaket putih yang memeluk tubuhku dengan hangat dan tas yang merangkul pundakku, aku sudah siap berangkat ke sekolah.
Seperti biasa, aku berangkat sekolah dengan jalan kaki. Namun, kali ini sedikit berbeda, rasanya aku menjadi lebih bersemangat dibanding hari-hari sebelumnya. Kakiku dengan riang melompat kecil, sedikit bersenandung senang, apakah mungkin karena aku bersemangat akan bertemu Bagas? Aih, tidak mungkin.
Dari gerbang sekolah aku sudah melihat Pak Abi berdiri tegap menyambut kedatangan para siswa, aku berhenti di hadapan beliau, memberikan senyum dan menundukkan badan, kulihat beliau membalas senyumku dengan ramah.
Tepukan di bahuku membuatku menoleh ke arah samping, Bagas rupanya.
"Selamat pagi, Kak."
"Ya, selamat pagi juga, Bagas."
"Hari ini jadi kan?" tanyanya dengan raut wajah penasaran. Ya Tuhan, bagaimana bisa ada manusia yang sangat menggemaskan seperti Bagas.
"Hari ini jadi, nanti temui aku di tempat kemarin," pintaku.
"Siap laksanakan, Kak."
Aku membalas dengan tersenyum, kemudian berlalu karena kami berbeda tujuan, Bagas pergi ke lorong kanan sedangkan aku pergi ke lorong kiri.