Berbicara tentang pariwisata berkelanjutan tidak bisa dipisahkan dari manfaat konkret apa yang dapat diberikan oleh sektor ini kepada masyarakat dalam skala dan arti yang luas. Betapa pun idealnya sebuah konsep, jika pada tahapan implementasinya tidak berjalan sesuai dan manfaatnya hanya dinikmati segelintir kelompok, maka narasi keberlanjutan yang diusung tak lebih dari sekadar jargon pemasaran.
Taman Nasional Tanjung Puting dan Petualangan Orangutan
Dengan luas sekitar 4.100 km2, atau setara dengan 6 kali lebih luas dari Provinsi DKI Jakarta, Taman Nasional Tanjung Puting yang berada dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Tengah merupakan surga bagi keanekaragaman hayati yang menakjubkan dan salah satu destinasi ekowisata paling terkenal di Pulau Kalimantan. Taman Nasional yang kawasannya telah diproteksi sejak zaman kolonial Belanda (1936) sebagai suaka margasatwa ini didedikasikan untuk melindungi ekosistem hutan tropis yang unik, termasuk hutan rawa gambut, sungai, berbagai spesies flora dan fauna.
Daya tarik utama Taman Nasional Tanjung Puting adalah orangutan, primata yang dianggap sebagai spesies kunci untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis, dan merupakan satu-satunya kera besar yang ada di luar benua Afrika. Kawasan Tanjung Puting menjadi rumah alami bagi sejumlah besar populasi orangutan yang dilindungi, dan merupakan tempat pertama dilakukannya penelitian orangutan di dunia oleh Professor Birute Mary Galdikas sejak 1971.
Tanjung Puting menawarkan pengalaman menyaksikan langsung sang kera besar di habitat aslinya, menyusuri sungai Sekonyer dengan perahu klotok dan boat-life experience, memungkinkan wisatawan mengeksplorasi keindahan alam dan menemui berbagai spesies satwa liar baik di hutan maupun di tepian sungai, seperti buaya, monyet, bekantan, beragam reptil, hingga burung-burung yang eksotis. Keindahan alamnya yang spektakuler dan upaya pelestarian orangutan telah menjadikan Taman Nasional Tanjung Puting sebagai tujuan wisata yang sangat diminati, terutama bagi wisatawan mancanegara.
Ekowisata di Tanjung Puting
Dalam konstruksi idealnya, ekowisata menekankan pada pengalaman wisata yang bertanggung jawab, berfokus pada interaksi positif antara wisatawan, lingkungan, dan masyarakat lokal sebagai tuan rumah. Setelah diadakannya Konferensi Kera Besar Dunia tahun 1991 di Indonesia, aktivitas ekowisata diperkenalkan di wilayah Taman Nasional Tanjung Puting sebagai upaya menggandeng masyarakat lokal berpartisipasi mendukung konservasi alam dan lingkungan.
Professor Birute Mary Galdikas pada satu kesempatan mengatakan bahwa beliau kala itu mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan izin dijalankannya kegiatan wisata bagi pengunjung umum secara terbatas ke Taman Nasional Tanjung Puting dan dijalankan langsung oleh masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan. Tujuan utamanya adalah memberikan jalan bagi masyarakat lokal mendapatkan alternatif penghasilan dibandingkan melakukan kegiatan eksplorasi alam secara kontinyu (penebangan hutan, penambangan liar, perburuan satwa).
Dua dekade awal hingga tahun 2010, ekowisata tumbuh secara inkremental di destinasi Tanjung Puting, jumlah pekerja pariwisata yang terlibat terus meningkat namun perlahan. Pesatnya perkembangan teknologi internet, search engine, hingga media sosial membuat maraknya promosi ekowisata dan mudahnya wisatawan mengakses ajakan untuk berwisata ke destinasi berbasiskan alam sebagai wujud peningkatan kesadaran masyarakat global akan pentingnya kelestarian lingkungan di berbagai belahan dunia.
Pertumbuhan pesat ekowisata dan teknologi internet linear dengan peningkatan kunjungan wisatawan sejak 2011 ke Taman Nasional Tanjung Puting. Angka kunjungan terus naik signifikan tahun demi tahun dan didominasi oleh pengunjung mancanegara. Puncaknya sebelum pandemi COVID-19, pada 2019 jumlah kunjungan wisatawan ke Taman Nasional ini mencapai angka 25 ribu lebih wisatawan, terjadi rasio kenaikan 3 kali lipat jumlah wisatawan tahunan dibandingkan 8.546 jiwa pada 2011.
Tanjung Puting bertransformasi menjadi salah satu primadona ekowisata Indonesia dan konsisten memimpin jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dibandingkan seluruh destinasi wisata lainnya yang ada di Pulau Kalimantan Wilayah NKRI selama 1 dekade penuh.
Kedaulatan Masyarakat Lokal
Kunjungan wisatawan khususnya internasional yang tinggi di Taman Nasional Tanjung Puting memberikan kontribusi ekonomi yang serius kepada masyarakat lokal dan memperkuat kesadaran global tentang pentingnya pelestarian hutan hujan tropis dan satwa liar. Ini adalah langkah positif dalam menghadapi tantangan keberlanjutan dan konservasi lingkungan di wilayah Kalimantan, mengingat pentingnya peranan alam dan keanekaragaman hayati bagi generasi mendatang.
Kedaulatan masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata di Taman Nasional Tanjung Puting adalah kunci keberlanjutan dan pemberdayaan komunitas setempat. Investasi luar yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata harus melibatkan representatif lokal secara langsung, memastikan bahwa keputusan strategis dan manfaat ekonomi terdistribusi secara adil. Pekerja pariwisata yang terlibat dalam kegiatan ekowisata di wilayah Tanjung Puting wajib memiliki identitas domisili (KTP) lokal, sehingga mereka memiliki keterlibatan penuh dalam mendukung dan menjaga keberlanjutan lingkungan serta kearifan lokal.
Model ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, tetapi juga meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi mereka yang berkontribusi pada industri pariwisata di destinasi Tanjung Puting. Dengan mengakui dan memberdayakan masyarakat lokal, ekowisata dapat menjadi sarana efektif untuk mendukung konservasi alam dan meningkatkan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
Berdasarkan data dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Kotawaringin Barat yang menaungi para pekerja pariwisata di destinasi Tanjung Puting memiliki jumlah pemandu wisata penuh waktu terbanyak (210 orang) dari seluruh destinasi wisata lainnya di wilayah Pulau Kalimantan yang menjadi bagian NKRI.
Dinas Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Barat pada 2020 mencatat ada lebih dari 60 Biro Perjalanan Wisata (BPW) lokal, 128 juru masak, 300 orang crew kapal wisata, 210 orang pemandu wisata, dan lebih dari 1500 pekerja pariwisata dan ekonomi kreatif langsung maupun tidak langsung di destinasi Tanjung Puting yang terkena dampak pandemi global COVID-19, dan keseluruhannya adalah masyarakat lokal.
Kompromi Ideal
Ekowisata mempromosikan partisipasi aktif wisatawan dalam upaya pelestarian, edukasi lingkungan, dan mendukung prakarsa lokal untuk menjaga keanekaragaman hayati dan warisan budaya. Dengan mengintegrasikan aspek-aspek ekologis, sosial, dan ekonomi, ekowisata menciptakan hubungan simbiosis antara pengembangan pariwisata dan keberlanjutan, menjadikannya model yang berkelanjutan dan memperhitungkan dampak jangka panjang.
Perjalanan ekowisata di destinasi Tanjung Puting merefleksikan rasio kemanfaatan yang jelas dibandingkan dengan kegiatan penambangan ilegal dan penebangan liar di sekitarnya, begitu pula dampak ekonomi konkret yang didapatkan masyarakat. Ekowisata memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, dan mencegah kerusakan ekosistem dari kegiatan ekplorasi alam yang berlebihan. Melalui ekowisata, pendapatan yang dihasilkan dapat memberikan sumber daya ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Aktivitas ekowisata yang ada di Taman Nasional Tanjung Puting, meskipun belum sempurna dan harus terus berbenah, telah menciptakan peluang pekerjaan lokal dan memberikan insentif untuk melestarikan lingkungan alam bagi masyarakat setempat. Ini adalah salah satu contoh kompromi ideal bagaimana memberikan solusi alternative income kepada masyarakat melalui kegiatan yang lebih pro lingkungan dan mengurangi kegiatan eksploitasi sumber daya alam berlebihan yang cenderung hanya memberikan manfaat ekonomi yang bersifat sementara, seringkali tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan mata pencaharian masyarakat setempat.
Kondisi Pascapandemi
Pascapandemi, Taman Nasional Tanjung Puting mengalami kebangkitan sebagai salah satu destinasi ekowisata yang mendapat sambutan hangat dari wisatawan. Setelah dua tahun lumpuh akibat pandemi, tingginya permintaan kunjungan menandakan keinginan kuat untuk kembali menjelajahi keindahan alam dan keanekaragaman hayati yang ditawarkan Tanjung Puting. Angka kunjungan sebanyak 25.323 wisatawan pada tahun 2022, dengan 65 persennya berasal dari wisatawan mancanegara, mencerminkan daya tarik yang luar biasa dari Taman Nasional ini.
Keberhasilan ini dapat diatribusikan tidak hanya pada keindahan alamnya, tetapi juga pada konsolidasi stakeholders lokal dan implementasi pembenahan kebijakan oleh otoritas, seperti pembatasan kuota kunjungan yang diperbarui dan penggunaan sistem online booking untuk izin masuk kawasan, yang semuanya mendukung pengelolaan yang lebih bertanggung jawab.
Prestasi gemilang Taman Nasional Tanjung Puting juga mendapat apresiasi dari Direktur Jenderal KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberikan penghargaan sebagai satuan kerja Taman Nasional dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) tertinggi ke-3 di bidang Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada kawasan konservasi tahun 2023.Â
Pengakuan ini menunjukkan pula bahwa Taman Nasional Tanjung Puting berhasil mencapai keseimbangan antara menarik minat wisatawan dan menjaga keberlanjutan lingkungan, serta memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal. Keberhasilan ini diharapkan memberikan inspirasi bagi destinasi wisata lainnya untuk mengadopsi praktik berkelanjutan guna mendukung kemajuan ekowisata di Indonesia.
Salam Pariwisata Berkelanjutan!
Referensi:
https://dispar.kotawaringinbaratkab.go.id/data-kunjungan-wisatawan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H