Saya saksikan betapa tertibnya Subadio melaksanakan pesan ibundanya itu.
Saya merasa Subadio orang yang berbahagia karena ia sudah matang, tetapi masih mempunyai seorang ibu yang bisa memberi pegangan hidup yang berharga.
Ibunda Subadio, Ibu Sastrosatomo, pernah datang menjenguk putranya di penjara dan saya merasa sangat terkesan oleh kepribadiannya.
Kalimat yang diucapkan setiap hari oleh Subadio sesudah tengah malam itu mengganggu nurani saya. Berkat pesan  ibunya, Subadio bisa menentukan sikap.
Saya menarik kesimpulan, Ibu Sastrosatomo tidak membela Soekarno.
Ia meminta putranya mengucapkan kalimat yang diajarkannya agar Subadio jangan hidup dengan membenci seseorang, sekalipun orang itu Soekarno yang menjebloskannya ke tahanan.
Hal ini dilakukannya terutama demi kesejahteraan batin putranya sendiri.
Secara tidak sengaja, saya merasa tertolong. Saya terbawa untuk tidak membenci Soekarno sebab benci tidak ada gunanya.
Walaupun demikian, saya merasa tidak perlu memintakan maaf untuknya.
Agustus 1967, saya dan istri tiba di bandara Schiphol, Belanda. Saya tercengang karena ditunggu sekitar 30 wartawan.
Padahal, kedatangan saya itu hanya sebagai orang biasa yang ingin mengumpulkan data untuk keperluan pribadi.