Mohon tunggu...
Arbi Sabi Syah
Arbi Sabi Syah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis Komparatif.id

Jurnalis Komparatif.id dan Kreator Konten Media Sosial Blockchain.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mereka Bilang Aku “Gembrot!”

22 Maret 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa menerima perlakuan seperti itu, aku pun bangkit dan berlari. Aku tidak mau rambutku dipotong pendek! Aku tidak suka rambut pendek! Kemudian aku masuk ke dalam dapur dan mencari pisau dapur. Aku menemukannya di dalam laci. Sambil menangis, aku arahkan pisau itu kepadanya. lalu aku pun berbalik mengancamnya, "Jangan pernah sentuh rambutku! Kalau kamu berani menyentuhnya sedikit saja, akan kutusuk perutmu dengan pisau ini! Akan kubunuh kamu!"

Seperti habis disambar petir, begitu aku selesai bicara, dia yang tadinya berwajah menyeramkan berubah menjadi pucat pasi. Dia terduduk lemas di atas kursi makan dan gunting yang tadi digenggamnya kuat-kuat dilemparkan ke atas meja. Dia menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian dia meminta maaf kepadaku. Dia sadar kalau perbuatannya selama ini sangatlah tidak menyenangkan. Dia terus menangis dan terus menerus meminta maaf.

Aku lalu segera mengangkat telepon dan bicara dengan kedua orang tuaku. Aku menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Mereka sangat marah dan segera langsung datang ke Malaysia. Mereka menjemputku dan segera membawaku keluar dari rumah mengerikan itu. Dan setelah beberapa hari, aku pun dibawa kembali pulang ke Indonesia.

Walaupun sampai sekarang aku tidak pernah bisa memaafkan semua perbuatannya, tetapi waktu itu aku merasa sangat lega. Akhirnya aku bisa kembali ke kehidupan normal, berkumpul dengan keluarga, dan bermain bersama teman-teman. Tidak ada lagi pukulan rotan. Tidak ada lagi tidak boleh makan. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau. Aku bisa makan apa saja yang aku mau.

Penderitaan demi penderitaan kulalui tetapi apakah semuanya sudah selesai? Ternyata penderitaanku belum berhenti juga. Masih ingat bagaimana aku? Ya, aku adalah seorang perempuan jelek yang bertubuh sangat gemuk.

Sama sekali tidak terbersit sedikit pun di dalam benakku kalau aku akan berhadapan dengan ejekan dan olokan yang sama, yang biasa dilontarkan oleh orang-orang sewaktu aku masih kecil. Aku sudah melupakannya. Aku benar-benar tidak ingat sama sekali.

Sampai kemudian aku masuk di salah satu Sekolah Menengah Atas swasta di Surabaya. Wajarlah kalau perempuan dan pria di usia seperti itu mulai melirik-lirik mencari pasangan. Sama juga dengan diriku, aku pun mulai tertarik dengan pria-pria ganteng yang ada di sekolahku, apalagi kakak-kakak kelas yang wajahnya memang begitu mempesona hatiku. Tetapi semua keinginan untuk bisa mendapatkan pasangan itu sirna setelah banyak teman-temanku yang memperolokku sama persis ketika aku masih kecil; "Si Gembrot".

Mereka bilang kalau mustahil ada pria yang tertarik dengan diriku karena aku bukan seorang perempuan yang menarik. Aku dibilang jelek dan bahkan dibilang tidak tahu diri. Aku disuruh mengaca dan melihat sendiri bagaimana jeleknya aku. Aku kembali merasa sangat sedih dan kecewa. Rasa percaya diriku kian menipis saja. Asa yang sempat kusemai pun tak tumbuh sebagaimana yang kuidam-idamkan.

Di rumah juga ternyata tidak berubah. Kakak, saudara-saudara bahkan papa dan mama pun melihatku sebagai anak yang sangat subur. Mereka tetap saja mengejek dan mengolok-olok tubuhku yang tambun. Bahkan mama mulai menjatah makananku. Aku tidak boleh lagi makan terlalu banyak. Setiap kali mau makan, pasti sudah ditaker terlebih dulu. Menyebalkan!

Aku sangat benci dengan tubuhku yang gembrot. Aku benci melihat pipiku yang tembem. Aku benci melihat perutku yang besar dan buncit. Aku benci melihat kakiku yang besar dan tidak berbentuk. Aku benci semua yang ada dalam diriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun