Sebelum UU ini disahkan, berbagai peraturan yang mengatur terkait kekerasan seksual dinilai masih memiliki keterbatasan dengan kata lain UU tahun 2022 hadir untuk memperkuat peraturan-peraturan yang sudah ada. Namun apa dikata, hukum yang berlaku sejauh ini tidak terbukti memberikan efek jera.
Sebagai manusia normal tentu kita berharap pelaku kejahatan seksual bisa diberikan hukuman yang lebih berat. Tidak hanya penjara atau hukum cambuk saja tapi kalau bisa dikebiri hingga hukuman mati seperti yang diterapkan negara --negara lain. Narendra Modi selaku perdana menteri India menjadi salah satu contoh pas karena berani memberlakukan hukuman mati bagi para pelaku perkosaan.
Tak hanya India, Arab Saudi mengambil langkah yang lebih mengerikan, yaitu dengan memenggal kepala pelaku di depan umum, sementara itu Iran tetangganya juga tak kalah kejam karena menerapkan hukuman gantung dan rajam.
Hukuman mati bagi pelaku perkosaan sebetulnya bukan hal baru, Amerika Serikat pernah menghukum mati predator sekaligus pembunuh berantai Ted Bundy dengan cara disetrum listrik.Â
Keputusan ini diambil karena memang tingkat kejahatan Ted sudah diluar nalar dan tak termaafkan. Jumlah korbannya sendiri mencapai 30 orang di tujuh negara bagian. Tak hanya penjahat, Ted Bundy rasa-rasanya lebih cocok mendapat julukan psikopat.
Bicara mengenai hukuman mati, negeri ini pun tak mau ketinggalan. Tahun 2016 lalu contohnya, publik digegerkan dengan kasus pemerkosaan seorang anak perempuan 14 tahun bernama Yuyun di daerah Bengkulu.Â
Hidup Yuyun berakhir tragis setelah diperkosa dan dibunuh oleh 14 pelaku -yang bahkan beberapa di antaranya masih di bawah umur. Akhirnya pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada sang otak pembunuhan dan pemerkosaan yang bernama Zainal.
Vonis hukuman mati juga pernah dijatuhkan kepada Herry Herawan, terdakwa kasus perkosaan 13 terhadap santriwatinya sendiri. Putusan ini dianggap akan menjadi peringatan kerasa bagi para pelaku pedofil dan predator yang lain.Â
Hukuman mati juga memberikan ketegasan bahwa negara ini tidak main-main dalam menangani kasus kekerasan seksual terutama kepada anak di bawah umur.
Meski banyak mendapat dukungan dari masyarakat luas namun vonis hukuman mati masih menimbulkan perdebatan dikalangan pakar hukum. Dikutip dari laman Indonesia Judicial Research Society (IJRS), beberapa pakar hukum berasumsi hukuman mati tidaklah efektif.
Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain efek jera yang diharapkan tidak benar terbukti. Hal tersebut terlihat dari grafik kasus yang justru mengalami peningkatan.Â