Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih Amankah Dunia Ini bagi Perempuan?

12 September 2024   00:13 Diperbarui: 14 September 2024   12:15 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com/volkan-olmez

Baru-baru ini sebuah berita pilu menghiasi jagad dunia maya. Seorang anak perempuan 18 tahun di Padang Pariaman di temukan terkubur tak bernyawa dalam kondisi tanpa busana. Mirisnya, anak tersebut mengalami kekerasan seksual hingga merenggang nyawa ketika sedang menjajankan gorengan berkeliling kampung demi membantu perekonomian keluarga.

Kabar kekerasan seksual berujung maut masih saja terus terjadi, tak hanya di Indonesia tapi juga belahan bumi lain. Bulan lalu, seorang dokter magang di Kalkota India juga ditemukan terbujur kaku saat sedang beristirahat di rumah sakit tempatnya bekerja pasca bertugas sif malam.

Dari hasil pemeriksaan ditemukan 150 mililiter sperma di tubuh si korban. Diduga kuat korban di perkosa dan dibunuh secara brutal oleh banyak orang. Kasus ini cukup membuat khalayak India marah, mereka beramai-ramai melakukan aksi demo sebagai bentuk protes terhadap apa yang telah dialami si korban.

Berita tentang pemerkosaan membuat siapapun yang mendengarnya naik pitam terlebih kaum perempuan. Bayangan ketidakberdayaan dan perlawanan yang dilakukan hingga napas terakhir menimbulkan efek kengerian dan kekhawatiran. Takut hal serupa menimpa orang yang kita kenal maupun diri sendiri.

Rasanya ruang gerak aman perempuan semakin sempit saja. Jangankan di luar, di dalam ruangan yang dikira aman pun perempuan masih harus merasakan penderitaan, ketakutan bahkan sampai harus kehilangan nyawa.

Data Statistik Kriminal 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah kejahatan seksual di Indonesia mencapai 4336 kejadian selama kurun waktu 2022. Jumlah tersebut terdiri dari pencabulan sebanyak 2893 kasus dan pemerkosaan sebanyak 1443 kasus.

Lucunya kasus paling banyak justru terjadi di Provinsi Aceh. Provinsi yang disebut sebut sebagai Serambi Mekah serta menerapkan Perda berupa Qonun Jinayat bagi para pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan dan peminum bir.

Dalam Qonun Jinayat, pelaku harus dihukum cambuk dan denda dengan jumlah nominal yang cukup besar. Sebutlah pelaku perkosaan yang harus dicambuk sebanyak 125 hingga 175 kali dengan denda 1250 hingga 1750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan hingga 175 bulan.

Jika dengan hukuman seperti itu pun, masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka harus dengan hukum seperti apa agar bisa membuat para pelaku jera? Masih adakah harapan bagi para perempuan mendapatkan keamanan ketika beraktivitas? Bisa kami menjalankan hobi, pekerjaan dan kegiatan dengan rasa aman tanpa ketakutan?

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan sudah berupaya memberikan perlindungan melalui berbagai peraturan terkait tindak kekerasan seksual. Salah satunya dengan mengesahkan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada bulan April tahun 2022 lalu. Itu pun setelah mengalami proses yang lumayan rumit dan panjang selama kurang lebih 10 tahun.

Sebelum UU ini disahkan, berbagai peraturan yang mengatur terkait kekerasan seksual dinilai masih memiliki keterbatasan dengan kata lain UU tahun 2022 hadir untuk memperkuat peraturan-peraturan yang sudah ada. Namun apa dikata, hukum yang berlaku sejauh ini tidak terbukti memberikan efek jera.

Sebagai manusia normal tentu kita berharap pelaku kejahatan seksual bisa diberikan hukuman yang lebih berat. Tidak hanya penjara atau hukum cambuk saja tapi kalau bisa dikebiri hingga hukuman mati seperti yang diterapkan negara --negara lain. Narendra Modi selaku perdana menteri India menjadi salah satu contoh pas karena berani memberlakukan hukuman mati bagi para pelaku perkosaan.

Tak hanya India, Arab Saudi mengambil langkah yang lebih mengerikan, yaitu dengan memenggal kepala pelaku di depan umum, sementara itu Iran tetangganya juga tak kalah kejam karena menerapkan hukuman gantung dan rajam.

Hukuman mati bagi pelaku perkosaan sebetulnya bukan hal baru, Amerika Serikat pernah menghukum mati predator sekaligus pembunuh berantai Ted Bundy dengan cara disetrum listrik. 

Keputusan ini diambil karena memang tingkat kejahatan Ted sudah diluar nalar dan tak termaafkan. Jumlah korbannya sendiri mencapai 30 orang di tujuh negara bagian. Tak hanya penjahat, Ted Bundy rasa-rasanya lebih cocok mendapat julukan psikopat.

Bicara mengenai hukuman mati, negeri ini pun tak mau ketinggalan. Tahun 2016 lalu contohnya, publik digegerkan dengan kasus pemerkosaan seorang anak perempuan 14 tahun bernama Yuyun di daerah Bengkulu. 

Hidup Yuyun berakhir tragis setelah diperkosa dan dibunuh oleh 14 pelaku -yang bahkan beberapa di antaranya masih di bawah umur. Akhirnya pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada sang otak pembunuhan dan pemerkosaan yang bernama Zainal.

Vonis hukuman mati juga pernah dijatuhkan kepada Herry Herawan, terdakwa kasus perkosaan 13 terhadap santriwatinya sendiri. Putusan ini dianggap akan menjadi peringatan kerasa bagi para pelaku pedofil dan predator yang lain. 

Hukuman mati juga memberikan ketegasan bahwa negara ini tidak main-main dalam menangani kasus kekerasan seksual terutama kepada anak di bawah umur.

Meski banyak mendapat dukungan dari masyarakat luas namun vonis hukuman mati masih menimbulkan perdebatan dikalangan pakar hukum. Dikutip dari laman Indonesia Judicial Research Society (IJRS), beberapa pakar hukum berasumsi hukuman mati tidaklah efektif.

Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain efek jera yang diharapkan tidak benar terbukti. Hal tersebut terlihat dari grafik kasus yang justru mengalami peningkatan. 

Dari sisi korban, hukuman mati juga dinilai tidak memberikan efek terhadap korban sementara fokus dari kasus kekerasan seksual adalah pemulihan dan perlindungan terhadap korban. Terakhir, ini lagu lawas di mana hukuman mati bertentangan dengan prinsip HAM.

Sementara hukum mati masih menjadi perdebatan, di luar sana nafsu-nafsu bejat itu masih terus berkeliaran dan mencari mangsa di mana-mana. Perempuan dituntut untuk lebih berhati-hati dan berkemampuan melindungi diri sendiri. Sementara di berbagai daerah, pemerkosaan dan pembunuhan terus saja terjadi.

Semakin banyak berita-berita perkosaan, semakin tinggi pula tingkat kekhawatiran dan ketakutan para perempuan. Pertanyaannya, masih amankah dunia ini bagi perempuan?

Resources ; 1, 2, 3, 4, 5, 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun