Faktanya, baru makan satu dua jenis saja, perut sudah kewalahan dan sisanya hanya akan berakhir di tempat sampah.
Hal ini berulang dan berlangsung selama 30 hari ramadan. Jika dihitung, jumlahnya tentu tidak sedikit mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengkonfirmasi bahwa pada ramadan tahun 2023 lalu timbunan sampah mengalami kenaikan sebanyak 20%. Jumlah tersebut terdiri dari sisa kemasan maupun sisa makanan.
Mereka juga mencatat contohnya di Kota Tangerang Selatan, kenaikan sampah mencapai 5 sampai 10% atau sekitar 970 ton per hari.
Angka yang terbilang cukup besar namun sayang luput dari perhatian. Berbagai lapisan masyarakat cenderung fokus beribadah selama bulan ramadan, sementara masalah sampah yang ditimbulkan gagal mendapat perhatian.
Kembali lagi ke pertanyaan di awal, apakah kita sadar dan tidak masalah jika bulan suci ramadan, bulan di mana kita beramai-ramai mensucikan diri dari perbuatan maksiat justru menimbulkan permasalahan untuk lingkungan sekitar? Tentu saja hal itu bukan tujuan yang diharapkan, bukan?
Persoalan sampah tidak bisa hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja. Kitalah yang menimbulkan sampah-sampah tersebut jadi sudah sewajarnya kita juga bertanggungjawab untuk menyelesaikannya.
Penyelesaian persoalan sampah ramadan bisa dikerucutkan menjadi 2 hal. Pertama mengenai pola konsumsi dan kebiasaan selama ramadan.
Untuk meminimalisir sampah organik kita perlu mulai mendisiplinkan diri untuk mengatur jumlah makanan yang akan dikonsumsi seuai porsi. Salah satu caranya adalah dengan tidak membeli makanan secara berlebihan.
Menjelang sore hari, banyak barisan takjil yang terlihat menggiurkan. Rasa-rasanya ingin sekali memindahkan itu semua ke meja makan. Namun perlu diingat, kita melihatnya dengan kondisi perut yang sedang keroncongan.
Rasa lapar bukan indikator yang baik untuk menentukan jumlah kebutuhan makan seseorang. Rasa lapar berkaitan dengan emosional seseorang, mereka seperti tipu muslihat. Seolah butuh banyak padahal tidak.