Di tahun 1970 orang-orang Tionghoa berbondong-bondong berpindah ke kawasan Surya Kencana. Dahulu namanya masih Post Weg atau jalan Pos.Â
Mereka menetap dan bertahan hidup dengan berdagang. Itulah mengapa dulu kawasan itu disebut-sebut sebagai pusat perdagangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Handelstraat. Handel artinya perdagangan sementara straat artinya jalan.
Di tahun 1853 pemerintah membuat sebuah kebijakan terkait zona pemukiman yang dinamakan Wijkenstelsel. Kebijakan ini diambil agar masyarakat antar etnis tidak saling tercampur sehingga memudahkan pemerintah untuk mengontrolnya.
Pemerintah kolonial berpikir jika etnis-etnis saling berbaur akan terjadi percampuran informasi, budaya serta pemikiran. Hal itu oleh mereka dianggap membahayakan. Ada 3 pemukiman yang mereka pisahkan di antaranya ; pemukiman Eropa, pemukiman Pecinan serta pemukiman Empang yang banyak ditempati oleh etnis Arab.
Jalanan yang saya lalui dari stasiun kereta api hingga ke Lawang Surya Kencana rupanya dulunya termasuk ke dalam area pemukiman Eropa. Tak heran jika aroma gaya arsitektur Eropa masih kentara.
Kawasan Surya Kencana sendiri seolah tak pernah sepi. Saat ini pun tempat itu terlihat lebih hidup dan padat jika dibanding dengan daerah lain di sekitarnya. Julukannya, "road of never sleeping", jalanan yang tak pernah tidur.
Bagi saya surya kencana terlihat tak ubahnya sebuah pasar ruko layaknya kota-kota lain di Indonesia. Sisa-sisa bangunan lawas bergaya arsitektur cina sesekali muncul malu-malu dari balik riuhnya para penjual di emperan toko. Toko-toko di sana menjual banyak hal, emas, elektronik, baju, kue, alat-alat tulis bahkan jasa kursus bahasa mandarin pun ada.
Saya tak menghentikan langkah sedikitpun. Menurut google maps, saya masih harus berjalan sejauh 950 meter lagi untuk mencapai Gang Aut. Meski sudah melewati satu dua tempat kuliner, tapi di Gang Aut-lah kuliner-kuliner paling enak berkumpul.
Tak disangka ternyata soto kuning di sepanjang jalan Surya Kencana ada banyak, di antaranya ada Soto Kuning Kang Wahid, Soto Kuning Khas Bogor Kang Asep, Soto Kuning si ABAH Pelipur Lapar, Soto Kuning Pak Ridwan, Soto Kuning Pak Yusuf dan yang lainnya.
Karena bingung akhirnya saya manut mbah google. Munculah nama Pak Yusuf di banyak laman. Tapi kok ada 2 Yusuf, ya? Yang satu Soto kuning Pak Yusuf dan satu lagi Soto Kuning Pak M. Yusuf (dengan huruf M). Waduh, Yusuf yang mana yang harus saya pilih? Keduanya pun sama-sama banyak direkomendasikan di laman google. Berbekal bismillah akhirnya saya memilih soto kuning Pak Yusuf --yang tanpa huruf M.
Soto kuning Pak Yusuf berada di barisan ruko-ruko berwarna biru. Pilihan banner warna merah dengan font putih membuatnya lebih mudah ditemukan.Â