Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | Temui saya di tempat lain -> irerosana.com atau email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berburu Soto Kuning Sembari Menelusuri Jalanan Surya Kencana Bogor, Bingung Kok Ada 2?

27 Januari 2024   14:30 Diperbarui: 28 Januari 2024   02:38 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lawang Surya Kencana Bogor (sumber : dok.pri/irerosana)

Namanya Bu Efa dan Bu Iin, guru di salah satu SD swasta di kota Bogor. Saya berkenalan dengan mereka di perpustakaan saat mereka tengah survey untuk rencana kunjungan sekolah. Pertemuan itu membawa saya mengenal istilah Surya Kencana. Salah satu pusat kuliner yang cukup terkenal di kota Bogor.

Mereka menyebut beberapa nama makanan khas Bogor seperti soto kuning, doclang, laksa, asinan, pepes sagu pisang dan kawan-kawannya. Semua makanan itu katanya berkumpul di Surya Kencana.

Perkara memilih soto sebenarnya hanya soal selera. Saya penasaran apa bedanya dengan soto-soto yang lain? Sejauh ini saya sudah banyak mencicip aneka soto dari berbagai daerah seperti Surabaya, Solo, Kudus, Lamongan, Betawi, Padang serta Sokaraja. Kurang afdol rasanya kalau tidak melengkapi dengan menicip soto kuning khas Bogor ini.

Awalnya saya pikir jarak Surya Kencana dengan perpustakaan bogor tidak begitu jauh jadi saya memutuskan untuk berjalan kaki. Berjalan memungkinkan kita untuk menikmati keindahan suatu kota dengan sedikit lebih lambat jika dibanding naik ojek online. Sayangnya, baru sampai di bibir Surya Kencana, kaki saya sudah pegal bukan main. Ternyata jauh juga, haha.

Lawang Surya Kencana terletak 1,6 km dari stasiun Bogor dan hanya 30 meter ke arah selatan dari pintu utama Kebun Raya Bogor. Lawang artinya pintu, gerbang utama atau titik awal menuju jalan Surya Kencana.

Begitu melewati gerbang, di sebelah kiri saya berdiri bangunan cagar budaya vihara Hok Tek Bio atau juga dikenal dengan nama vihara Dhanagun dengan dominasi warna merahnya. Warna yang bagi etnis Tionghoa dianggap sebagai sebuah keberuntungan.

Vihara ini menjadi simbol pluralisme sekaligus saksi bisu diskriminasi yang pernah dialami etnis Tionghoa. Selama 32 tahun mereka dilarang merayakan hari raya imlek. Baru setelah kepemimpinan Aburrahman Wahid Vihara ini menjadi lokasi sekaligus saksi perayaan Cap Go Meh pertama di kota Bogor.

Ilustrasi lukisan perayaan Cap Go Meh pertama kali di Bogor di Galeri Bumi Parawira (sumber : dok.pri/irerosana)
Ilustrasi lukisan perayaan Cap Go Meh pertama kali di Bogor di Galeri Bumi Parawira (sumber : dok.pri/irerosana)

Lampion merah terpasang melintang di beberapa ruas jalan yang saya lalui seolah mengingatkan bahwa kawasan itu menolak jika disebut telah meninggalkan budaya Tionghoa.

suasana jalan Surya Kencana Bogor (sumber : dok.pri/irerosana)
suasana jalan Surya Kencana Bogor (sumber : dok.pri/irerosana)

Di tahun 1970 orang-orang Tionghoa berbondong-bondong berpindah ke kawasan Surya Kencana. Dahulu namanya masih Post Weg atau jalan Pos. 

Mereka menetap dan bertahan hidup dengan berdagang. Itulah mengapa dulu kawasan itu disebut-sebut sebagai pusat perdagangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Handelstraat. Handel artinya perdagangan sementara straat artinya jalan.

Di tahun 1853 pemerintah membuat sebuah kebijakan terkait zona pemukiman yang dinamakan Wijkenstelsel. Kebijakan ini diambil agar masyarakat antar etnis tidak saling tercampur sehingga memudahkan pemerintah untuk mengontrolnya.

Pemerintah kolonial berpikir jika etnis-etnis saling berbaur akan terjadi percampuran informasi, budaya serta pemikiran. Hal itu oleh mereka dianggap membahayakan. Ada 3 pemukiman yang mereka pisahkan di antaranya ; pemukiman Eropa, pemukiman Pecinan serta pemukiman Empang yang banyak ditempati oleh etnis Arab.

Jalanan yang saya lalui dari stasiun kereta api hingga ke Lawang Surya Kencana rupanya dulunya termasuk ke dalam area pemukiman Eropa. Tak heran jika aroma gaya arsitektur Eropa masih kentara.

Kawasan Surya Kencana sendiri seolah tak pernah sepi. Saat ini pun tempat itu terlihat lebih hidup dan padat jika dibanding dengan daerah lain di sekitarnya. Julukannya, "road of never sleeping", jalanan yang tak pernah tidur.

Bagi saya surya kencana terlihat tak ubahnya sebuah pasar ruko layaknya kota-kota lain di Indonesia. Sisa-sisa bangunan lawas bergaya arsitektur cina sesekali muncul malu-malu dari balik riuhnya para penjual di emperan toko. Toko-toko di sana menjual banyak hal, emas, elektronik, baju, kue, alat-alat tulis bahkan jasa kursus bahasa mandarin pun ada.

Saya tak menghentikan langkah sedikitpun. Menurut google maps, saya masih harus berjalan sejauh 950 meter lagi untuk mencapai Gang Aut. Meski sudah melewati satu dua tempat kuliner, tapi di Gang Aut-lah kuliner-kuliner paling enak berkumpul.

Tak disangka ternyata soto kuning di sepanjang jalan Surya Kencana ada banyak, di antaranya ada Soto Kuning Kang Wahid, Soto Kuning Khas Bogor Kang Asep, Soto Kuning si ABAH Pelipur Lapar, Soto Kuning Pak Ridwan, Soto Kuning Pak Yusuf dan yang lainnya.

Karena bingung akhirnya saya manut mbah google. Munculah nama Pak Yusuf di banyak laman. Tapi kok ada 2 Yusuf, ya? Yang satu Soto kuning Pak Yusuf dan satu lagi Soto Kuning Pak M. Yusuf (dengan huruf M). Waduh, Yusuf yang mana yang harus saya pilih? Keduanya pun sama-sama banyak direkomendasikan di laman google. Berbekal bismillah akhirnya saya memilih soto kuning Pak Yusuf --yang tanpa huruf M.

Soto kuning Pak Yusuf berada di barisan ruko-ruko berwarna biru. Pilihan banner warna merah dengan font putih membuatnya lebih mudah ditemukan. 

Begitu masuk saya di sambut meja panjang dengan aneka lauk pauk yang sudah dipisahkan berdasarkan jenisnya. Ada kepala, sate kikil, babat, lidah, daging sengkel, paru, aneka gorengan, bungkusan emping dan perkedel.

Soto Kuning Pak Yusup tampak depan (sumber :dok.pri/irerosana)
Soto Kuning Pak Yusup tampak depan (sumber :dok.pri/irerosana)

Seorang pria paruh baya dengan rambut cepak mengenakan kaos kerah bergaris horizontal dengan paduan warna mint dan abu-abu terlihat sibuk di balik meja. Seorang pelanggan menunggunya menghitung. Melihat saya datang ia sigap memberikan kode untuk segera memilih lauk.

sumber : dok.pri/irerosana
sumber : dok.pri/irerosana

"Halal, Pak?" sebuah pertanyaan bodoh yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut saya. Ya iyalah Re, namanya Yusuf lho, Yusuf! 

Wait, jangan hujat saya! Maklum, sebelum datang ke Surya Kencana, Bu Iin dan Bu Efa mewanti-wanti saya untuk berhati-hati.

"Harus ekstra hati-hati ya Mbak, di sana banyak dijual B2, banyak yang nggak halal juga!" ucapnya dengan nada cemas tapi tegas. Jadi ya saya cuma berusaha hati-hati saja, he.

Si Bapak menjawab, "Insyaalah, Mbak," jawab si Bapak setelah mengelus dada seolah ingin berucap, "astagfirullah..."

Melihat aneka jeroan di depan mata, nyali saya pun menciut. Duh, kolesterol semua! Tak apalah, hari ini kolesterol saya liburkan!

Setelah membuat si Bapak menunggu lama akhirnya saya putuskan mengambil 2 potong daging dengan perkedel. Si Bapak memotong daging saya dengan buru-buru, menyiraminya dengan kuah kuning dan menambahkan bawang goreng dan seledri.

Ia memberi kode saya untuk mengambil nasi sendiri. Nasi-nasi tersebut sudah mereka bungkus dengan kertas nasi untuk memudahkan perhitungan harga. Takut tidak habis akhirnya saya hanya mengambil satu bungkus.

Harga di soto kuning Pak Yusuf didasarkan per potong. Semua lauk dipukul rata 12.000 rupiah. Jika mengambil 2 potong seperti saya artinya 24.000. Harga tersebut belum termasuk tambahan seperti nasi, kerupuk dan minum.

Setelah menambahkan sambal, kecap dan irisan jeruk limau saya pun menyantapnya. Rasanya memang enak, meski kuahnya bersantan tapi tidak eneg. Gurih dan bikin nagih. Ada aroma rempah tapi tidak menyengat, seperti meminta ijin masuk ke mulut dengan lembut dan sopan. Dagingnya empuk. Kalau kata code blue "Ara ara.."

Soto Kuning Pak Yusup (dok.pri/irerosana)
Soto Kuning Pak Yusup (dok.pri/irerosana)

Ternyata tidak percuma saya berjalan kaki sejauh 2,5 km. Tak perlu waktu lama, soto kuning saya habis dalam hitungan menit. Akhirnya rasa penasaran saya pun terbayar.

Setelah menyelesaikan suapan terakhir akhirnya saya menuju ke meja kasir. Si Bapak berbaju mint abu sudah meninggalkan tempatnya, digantikan oleh seseorang yang terlihat lebih muda.

"Bapak tadi itu Pak Yusuf?" tanya saya kepada si pemuda.

"Bukan Kak, itu adiknya. Kalau Pak Yusuf biasanya ke sini pagi."

Wah, sayang sekali saya tidak bertemu dengan pemiliknya langsung. Padahal ingin memuji langsung bahwa sotonya enak.

Keluar dari warung Pak Yusuf saya melayangkan sapuan pandang ke arah sekitar. Di seberang, berjejer aneka kuliner seperti empal gentong, toge goreng, asinan, pepes pisang, dan lainnya. Ingin rasanya mencobanya satu-satu, tapi apa daya perut sudah melambaikan bendera putih.

Sebenarnya ada yang masih mengganjal! Saya masih penasaran dengan soto kuning Pak M. Yusuf. Kabarnya usianya jauh lebih tua, jika soto kuning Pak Yusuf berdiri tahun 1992, maka soto kuning Pak M. Yusuf berdiri sejak 1977. Bukankah yang lebih tua harusnya lebih jago dan berpengalaman? Yasudah, kita coba di waktu lain.

Agar tak berpulang dengan tangan kosong, akhirnya saya memutuskan untuk membeli oleh-oleh Pepes Pisang Daniel. Letaknya tepat di ruko soto kuning Ibu May.

Gerobak Pepes Pisang Daniel (sumber : dok.pri/irerosana)
Gerobak Pepes Pisang Daniel (sumber : dok.pri/irerosana)

Meski hanya berjualan dengan gerobak, namun pepes pisang ini sudah sangat di kenal oleh kalangan para pencinta kuliner. Foto-foto tokoh terkenal seperti Peppy, chef Adi, Kenta, Jessica Jane dan Jessnolimit, serta maestro kuliner Pak Bondan di pajang di sisi kanan gerobak. Mereka berpose puas sembari memegang si pepes. Foto-foto tersebut seolah membuktikan keseriusan rasa yang mereka jual.

Matahari mulai redup dan perut sudah kenyang. Betis saya memberikan kode untuk segera memanggil ojol. Jika dipaksa jalan rasa-rasanya mereka akan ngambek berhari-hari. Sebuah hari yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Hari itu saya mengenal sedikit banyak sejarah kota Bogor melalui kulinernya. Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun