Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Baik di Film Maupun Kisah Nyata, Kasus KDRT Tak Kunjung Sirna

22 November 2023   08:08 Diperbarui: 22 November 2023   10:41 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: unsplash.com/Hailey Kean

Kasus kekerasan yang dialami Dr. Qory mengingatkan saya dengan film Bollywood berjudul Darlings yang dibintangi oleh Alia Bhatt. 

Dalam film tersebut Alia berperan sebagai Badrunissa Sheikh, istri seorang pecandu alkohol dan kerap mendapat perlakuan KDRT dari suaminya yang bernama Hamzah Sheikh.

Dalam hal ini, Baik Badru maupun Dr. Qory sama-sama mengalami kekerasan baik verbal maupun fisik dari orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Apapun alasannya KDRT tetap tidak dibenarkan dan perempuan harus melawan.

Dalam film Darlings, Badru harus menghadapi suami yang abusive, impulsif di bawah pengaruh alkohol dan mengalami KDRT secara berulang dan terus menerus. 

Sayangnya ketika hari sudah berganti, suaminya berubah menjadi manis, penyayang, terus memohon maaf sembari memelas kepada Badru. 

Badru pun selalu luluh dan memaafkan sang suami. Pola kekerasan dan pemaafan tersebut terus saja terjadi secara berulang-ulang hingga penonton jengkel dan jenuh.

Tak seperti di film Darlings, kisah Dr. Qory yang mengalami kekerasan fisik dan mental dari suami terjadi secara nyata. Suaminya tega melakukan kekerasan baik secara verbal maupun fisik seperti menendang dan bahkan menginjak  lehernya berkali-kali dalam kondisi dokter Dr. Qory yang tengah mengandung anak keempatnya.

Sayangnya akhir cerita dari Badru dan Dr. Qory berbeda. Jika Badru di akhir cerita memutuskan untuk balas dendam ke suaminya, Dr. Qory justru memilih untuk memaafkan dengan cara mencabut laporan di kepolisian.

Hal ini tentu menuai reaksi masyarakat. Mau tak mau publik yang sejak awal sudah diasupi cerita -mulai dari kabar menghilangnya Dr. Qory, lalu ditemukan hingga mengaku menjadi korban KDRT- menjadi marah dan kecewa.

Cerita KDRT memang cenderung menggugah emosi publik yang ujungnya hanya bisa diredamkan oleh proses hukum. Wajar jika akhirnya masyarakat kecewa karena justru si korban sendiri yang mencabut laporannya dan memutuskan untuk memaafkan pelaku.

Kasus ini juga mengingatkan kita kembali kepada kasus KDRT yang dialami Lesty Kejora tahun lalu. Setelah menimbulkan kemarahan di tengah-tengah masyarakat, tiba-tiba saja Lesty memutuskan untuk mencabut laporannya.

Dr. Qory dan Lesty memiliki persamaan, sama-sama memilih mencabut laporan dan memaafkan pelaku.

Penyebabnya bisa jadi banyak hal. Namun alasan yang mencuat ke publik dari Dr. Qory sendiri adalah karena ia masih sayang dengan si suami sementara Lesty menyebut tindakan tersebut dilakukan demi keberlangsungan rumah tangganya.

Waspada traumatic bonding!

Salah satu kondisi yang perlu diwaspadai dalam kasus KDRT adalah terjadinya traumatic bonding yaitu kondisi yang terjadi saat seseorang terus membangun ikatan dengan orang yang telah melakukan tindakan kekerasan maupun pelecehan kepada dirinya.

Adapun penyebab dari traumatic bonding salah satunya adalah adanya keterikatan dan ketergantungan dengan si pelaku. Penyebab lain adalah adanya harapan bahwa si pelaku akan berubah. Fase ini juga disebut sebagai fase bulan madu di mana si pelaku meminta maaf dan berusaha baik kepada korban.

Pyschcentral.com mengidentifikasi 6 ciri seseorang masuk ke dalam kategori traumatic bonding. 

Pertama, membenarkan dan membela perilaku tersebut. Kedua, terus memikirkan si pelaku meski sudah disakiti. Ketiga, tetap ingin membantu mereka. Keempat, tidak ingin pergi dari situasi yang dialami dan memilih tetap bertahan. Kelima, mencoba untuk menutupi kesalahan mereka, contohnya dengan tidak bercerita ke keluarga serta mulai menjauhi teman dan keluarga. Terakhir, tidak mengungkapkan apa yang dirasakan kepada pasangan atau tidak bisa menjadi diri sendiri.

Dari ciri tersebut baik Dr. Qory dan Lesty bisa diindikasikan mengalami traumatic bonding. Badru pun di awal-awal film juga sempat mengalami traumatic bonding sebelum pada akhirnya berhasil melepaskan diri.

Lalu bagaimana seseorang bisa terlepas dari traumatic bonding? 

Beberapa literatur menyebut yang paling utama adalah mengetahui dan menyadari apa yang tengah terjadi kepada mereka. Dalam hal ini korban tahu dan sadar bahwa mereka adalah korban KDRT.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga mengkonfirmasi KDRT memiliki beberapa fase, di antaranya kekerasan dilakukan berulang dan membentuk siklus yaitu fase ketegangan di mana komunikasi yang mulai memburuk -- terjadi kekerasan -- fase rekonsiliasi (permintaan maaf dari pelaku) -- fase tenang di mana korban sudah memaafkan dan berbaikan dengan pelaku.

Fase tersebut sekaligus menunjukkan alasan mengapa para korban sulit untuk keluar dari kondisi yang tengah mereka alami.

Penting juga untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Seringkali korban KDRT merasa ada pemicu dalam dirinya yang menyebabkan si pelaku melakukan kekerasan tersebut. Hasilnya, ia akan menyalahkan diri sendiri dan mulai memaklumi tindakan si pelaku.

Langkah lainnya adalah memutuskan hubungan atau kontak secara penuh. Ada baiknya untuk menciptakan jarak aman baik dengan cara tinggal sementara dengan saudara atau teman. 

Di era daring, memutuskan hubungan bisa juga diartikan dengan memblokir nomor kontak dan seluruh sosial media yang memungkinkan untuk bisa dihubungi.

Langkah terakhir yang tak kalah penting adalah melakukan konsultasi dengan para ahli seperti psikolog atau psikiater. Tentunya, akan jauh lebih mudah untuk membebaskan diri dari traumatic bonding melalui para bantuan para ahli.

Langkah untuk korban KDRT

Kemenpppa melalui Siaran Pers Nomor: B- 439/ SETMEN/HM.02.04/11/2023 menyebut bahwa kasus Dr. Qory sebagai alarm masyarakat bahwa KDRT bukan aib sehingga harus berani melapor.

Lalu langkah apakah yang sebaiknya dilakukan oleh para korban KDRT? 

Mengenai hal tersebut, Polri melalui laman resminya, tribratanews.kepri.polri.go.id, menyebutkan beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu;

1. Apabila mengalami KDRT, khususnya jika bentuknya kekerasan fisik, maka korban harus segera lapor ke pihak kepolisian. Nanti korban diarahkan untuk melakukan visum et repertum yang dilakukan oleh orang yang berkompeten. Di Indonesia, hasil visum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat yang diajukan ke pengadilan dalam proses pembuktian.

2. Apabila laporan dilakukan ke POLRES setempat akan dirujuk ke bagian unit Perempuan dan Anak.

3. Korban akan dimintai keterangannya sebagai saksi diJika ada, sertakan juga bukti-bukti untuk memperkuat laporan.

4. Bila polisi merasa sudah ada minimal 2 alat bukti maka pihak terlapor dapat ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.

5. Catat siapa penyidik yang menangani kasus tersebut untuk mempermudah korban mengikuti perkembangan penanganan kasus.

Dengan adanya keterbukaan informasi dan banyaknya lembaga yang mengulurkan tangan, diharapkan para korban KDRT bisa mendapat perlindungan serta keadilan yang layak. Lebih jauh, hal ini diharapkan bisa mengurangi jumlah kasus KDRT yang terjadi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun