Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga mengkonfirmasi KDRT memiliki beberapa fase, di antaranya kekerasan dilakukan berulang dan membentuk siklus yaitu fase ketegangan di mana komunikasi yang mulai memburuk -- terjadi kekerasan -- fase rekonsiliasi (permintaan maaf dari pelaku) -- fase tenang di mana korban sudah memaafkan dan berbaikan dengan pelaku.
Fase tersebut sekaligus menunjukkan alasan mengapa para korban sulit untuk keluar dari kondisi yang tengah mereka alami.
Penting juga untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Seringkali korban KDRT merasa ada pemicu dalam dirinya yang menyebabkan si pelaku melakukan kekerasan tersebut. Hasilnya, ia akan menyalahkan diri sendiri dan mulai memaklumi tindakan si pelaku.
Langkah lainnya adalah memutuskan hubungan atau kontak secara penuh. Ada baiknya untuk menciptakan jarak aman baik dengan cara tinggal sementara dengan saudara atau teman.Â
Di era daring, memutuskan hubungan bisa juga diartikan dengan memblokir nomor kontak dan seluruh sosial media yang memungkinkan untuk bisa dihubungi.
Langkah terakhir yang tak kalah penting adalah melakukan konsultasi dengan para ahli seperti psikolog atau psikiater. Tentunya, akan jauh lebih mudah untuk membebaskan diri dari traumatic bonding melalui para bantuan para ahli.
Langkah untuk korban KDRT
Kemenpppa melalui Siaran Pers Nomor: B- 439/ SETMEN/HM.02.04/11/2023 menyebut bahwa kasus Dr. Qory sebagai alarm masyarakat bahwa KDRT bukan aib sehingga harus berani melapor.
Lalu langkah apakah yang sebaiknya dilakukan oleh para korban KDRT?Â
Mengenai hal tersebut, Polri melalui laman resminya, tribratanews.kepri.polri.go.id, menyebutkan beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu;
1. Apabila mengalami KDRT, khususnya jika bentuknya kekerasan fisik, maka korban harus segera lapor ke pihak kepolisian. Nanti korban diarahkan untuk melakukan visum et repertum yang dilakukan oleh orang yang berkompeten. Di Indonesia, hasil visum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat yang diajukan ke pengadilan dalam proses pembuktian.