Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siasat Berikan Pemahaman Konflik Palestina Israel ke Anak

12 November 2023   13:18 Diperbarui: 14 November 2023   07:03 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumentasi pribadi/irerosana

Pagi hari tepat seminggu yang lalu, 5 November 2023, Stasiun Gondangdia penuh lautan manusia beratribut Palestina. Mereka bergerak menuju ke arah Jl. M.I Ridwan Rais, melewati Kedutaan Besar Amerika Serikat dan berbelok ke arah pintu tenggara Monumen Nasional.

Pagi itu menjadi saksi sejarah besarnya dukungan rakyat Indonesia untuk kebebasan Palestina dari belenggu Israel. Aksi yang dilakukan kurang lebih 4 jam tersebut merupakan buntut dari serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu. 

Tercatat hingga 10 November 2023, serangan Israel telah menewaskan kurang lebih 11.000 jiwa dan 4506 di antaranya adalah anak-anak.

Bachtiar Nasir selaku ketua pelaksana mengklaim setidaknya ada 2 juta orang yang mengikuti aksi bela Palestina di Monas. Saya sendiri kurang yakin jumlahnya, tapi dari pantauan drone memang terlihat padat dan banyak. Jumlah tersebut belum termasuk yang berteduh di bawah pepohonan di area Monas dan tak tertangkap kamera.

Massa sendiri datang dengan berbagai moda transportasi. Commuterline yang harusnya lengang di hari minggu berubah padat dan sesak. Tiga stasiun menjadi tujuan terbanyak, stasiun Gondangdia, Sudirman, dan Cikini. Banyak motor dan mobil juga terlihat terparkir di area sekitar Monas.

Tak hanya warga Jakarta dan sekitarnya, aksi ini juga diikuti oleh warga dari luar daerah. Tak hanya orang dewasa, aksi ini juga diikuti oleh lansia, anak-anak bahkan balita.

Sumber: Dokumentasi pribadi/irerosana
Sumber: Dokumentasi pribadi/irerosana

Banyak anak-anak membawa dan mengenakan berbagai macam atribut seperti ikat kepala, syal, bendera, tulisan atau poster berisi dukungan kepada Palestina atau hujatan terhadap Israel.

Di tengah kerumunan, terlihat seorang ayah tengah mengabadikan aksi anaknya yang sedang mengibarkan bendera Palestina. Sesekali sang ayah meneriakkan kalimat yang kemudian diikuti oleh teriakan si anak, "Free Palestine!"

Belakangan dari media sosial saya jadi tahu bahwa ternyata putri Zaskia Adya Mecca, Kala Madali, juga turut serta dalam aksi tersebut. Kala memakai kaos hitam sembari membawa poster bertuliskan "Bombing Kids is Not a Self Defense".

Keterlibatan anak-anak dalam aksi bela Palestina lalu bukan hanya karena korban terbesar dari konflik kali ini adalah anak-anak. Lebih dari itu, utamanya, para orangtua ingin mengajarkan soal kepedulian terhadap permasalahan kemanusiaan yang ada di Palestina yang seolah tanpa akhir.

Meski begitu, tak bisa diabaikan pula fakta bahwa anak-anak memang menjadi korban terbesar dari konflik yang terjadi di Palestina kali ini. WHO sendiri mengklaim kurang lebih 160 anak terbunuh setiap harinya.

Di sisi lain, menutup mata dan telinga anak-anak di seluruh dunia dari masifnya berita yang tersebar di jagad maya tentu tidak dimungkinkan.

Anak-anak pada akhirnya tetap tahu bahwa ada daerah bernama Palestina di mana anak-anak di sana dibunuh secara brutal. Bahkan mungkin beberapa dari anak kita telah melihat video mentah para korban dengan darah berlumuran atau barisan mayat yang terbujur kaku dengan kondisi mengenaskan di antara reruntuhan bangunan.

Melalui detik.com, beberapa orangtua mengaku mengajak anaknya ikut aksi bela Palestina untuk menunjukkan apa yang tengah terjadi di negeri tersebut.

Mereka juga ingin menunjukkan bahwa meski terpaut jarak yang jauh tapi ada hal-hal yang bisa diupayakan seperti mengirim doa, berdonasi dan memberikan suara.

Di jagad blog, seorang ibu merasa cemas lalu menulis tentang pentingnya memberi tahu anak soal konflik yang terjadi di Palestina. Hal itu dilakukan guna mencegah terjadinya miss informasi yang diterima oleh si anak. Menurutnya, tanpa arahan yang jelas, anak ditakutkan akan menerima informasi mentah yang berakibat pada konklusi yang salah.

Contohnya, alasan Palestina diserang adalah karena mereka menyerang lebih dulu, sehingga serangan yang diluncurkan Israel adalah bentuk dari pertahanan diri. Anak kemudian memaklumi tindakan tersebut.

Narasi pendek semacam itu sangat mudah kita temukan di dunia maya. Belum lagi soal kabar Israel yang membayar banyak buzzer, influencer, dan artis guna menggiring opini masyarakat untuk membela mereka. Hal itu semakin menambah jumlah narasi positif tentang Israel.

Di bagian daerah lain, seorang kawan saya yang anaknya bersekolah di SD IT di Kabupaten Tangerang, mengaku bahwa anaknya sudah mendapatkan penjelasan mengenai konflik Palestina dari pihak sekolah. Kawan saya pun jadi tak perlu repot-repot untuk menjelaskan ulang secara panjang lebar di rumah.

Beda cerita dengan seorang kawan saya yang tinggal di Semarang, di mana ia menerapkan praktik boikot terhadap produk-produk pro Israel. Ia harus menjelaskan kepada si anak kenapa ia mengganti produk-produk yang biasanya mereka pakai. Karena masih berusia 6 tahun, ia pun memilih istilah dan membuat perumpamaan yang mudah dipahami oleh si anak.

Banyak dari kawan saya juga mengaku memakai video-video yang tersebar di media sosial untuk membantu menjelaskan kepada sang anak agar lebih mudah dipahami.

Memutuskan untuk membagi informasi mengenai konflik maupun perang kepada anak memang tidak semudah yang dibayangkan. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, di antaranya mengenai usia si anak dan sejauh mana informasi yang sudah lebih dulu diterima oleh mereka.

Usia akan sangat menentukan cara penyampaiannya. Pemahaman seorang anak balita yang bahkan belum mengenyam bangku pendidikan akan berbeda dengan anak yang sudah memasuki Sekolah Dasar, SMP maupun SMA.

Apakah anak yang bahkan belum sekolah perlu dijelaskan mengenai konflik di Palestina? 

Sepertinya pertanyaan ini cukup mengusik dan menarik untuk di bahas. Menurut Ashley Kipness, PsyD, mitra dan direktur klinis asosiasi di Applied Psychological Services of New Jersey melalui parents.com, berpendapat bahwa anak-anak sebaiknya tidak dihadapkan pada gambaran perang karena akan sulit dipahami.

Akan tetapi dalam kondisi si anak tanpa sengaja menonton berita atau mendengar sesuatu yang berhubungan dengan perang, Dr. Kipness dan Zishan Khan, MD, seorang psikiater di Mindpath Health sepakat bahwa kondisi tersebut butuh penjelasan. Hal tersebut bertujuan agar si anak tidak ketakutan dan merasa tempatnya tidak aman.

Penjelasan yang bisa dilakukan antara lain menjelaskan perang dalam bahasa sederhana mungkin. Contohnya, perang adalah pertikaian antara dua pemikiran dan keyakinan. Perlu juga dijelaskan bahwa itu terjadi di daerah lain yang jauh dari tempat mereka tinggal agar si anak tidak merasa cemas.

Sedangkan menurut Aliza Pressman, Phd, seorang psikolog pendiri Mount Sinai Parenting Center, jika berbicara mengenai anak di tingkat SMA, penjelasannya bisa menjadi lebih kompleks. 

Anak SMA cenderung mendapat banyak informasi dari media sosial, oleh karena itu penting untuk menyadarkan bahwa media sosial memiliki algoritma yang mana bisa menggiring opini ke arah tertentu. Menurut Pressman itu cukup berbahaya. Selanjutnya diharapkan diskusi akan mengarah ke dialog tentang pentingnya literasi digital.

Unicef melalui laman website-nya juga memberikan beberapa arahan mengenai cara berdiskusi tentang konflik dan perang dengan anak. Menurutnya, penting untuk mencari tahu sejauh mana anak tahu dan apa yang mereka rasakan. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, penting pula untuk memilih gaya bahasa sesuai usia si anak.

Laman tersebut juga menggarisbawahi pentingnya untuk lebih mengarahkan kepada hal-hal serta cerita-cerita yang sifatnya positif. Pula disarankan untuk menghindari penggunaan, kata-kata, label atau stigma negatif.

Setelahnya, ada baiknya untuk terus memantau keadaan serta perkembangan si anak. Melakukan kegiatan-kegiatan lain bersama anak juga bisa dilakukan guna membatasi jumlah konsumsi berita.

Terakhir, selain berfokus pada si anak, kita juga perlu fokus terhadap kondisi diri sendiri. Salah satunya dengan berlatih mengendalikan diri. Tidak dipungkiri berita jumlah korban dari konflik Palestina membuat saya, Anda, dan masyarakat Indonesia cenderung akan marah. Emosional kita akan berpengaruh terhadap cara kita memberi penjelasan dan pengertian kepada si anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun