Banyak dari kawan saya juga mengaku memakai video-video yang tersebar di media sosial untuk membantu menjelaskan kepada sang anak agar lebih mudah dipahami.
Memutuskan untuk membagi informasi mengenai konflik maupun perang kepada anak memang tidak semudah yang dibayangkan. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, di antaranya mengenai usia si anak dan sejauh mana informasi yang sudah lebih dulu diterima oleh mereka.
Usia akan sangat menentukan cara penyampaiannya. Pemahaman seorang anak balita yang bahkan belum mengenyam bangku pendidikan akan berbeda dengan anak yang sudah memasuki Sekolah Dasar, SMP maupun SMA.
Apakah anak yang bahkan belum sekolah perlu dijelaskan mengenai konflik di Palestina?Â
Sepertinya pertanyaan ini cukup mengusik dan menarik untuk di bahas. Menurut Ashley Kipness, PsyD, mitra dan direktur klinis asosiasi di Applied Psychological Services of New Jersey melalui parents.com, berpendapat bahwa anak-anak sebaiknya tidak dihadapkan pada gambaran perang karena akan sulit dipahami.
Akan tetapi dalam kondisi si anak tanpa sengaja menonton berita atau mendengar sesuatu yang berhubungan dengan perang, Dr. Kipness dan Zishan Khan, MD, seorang psikiater di Mindpath Health sepakat bahwa kondisi tersebut butuh penjelasan. Hal tersebut bertujuan agar si anak tidak ketakutan dan merasa tempatnya tidak aman.
Penjelasan yang bisa dilakukan antara lain menjelaskan perang dalam bahasa sederhana mungkin. Contohnya, perang adalah pertikaian antara dua pemikiran dan keyakinan. Perlu juga dijelaskan bahwa itu terjadi di daerah lain yang jauh dari tempat mereka tinggal agar si anak tidak merasa cemas.
Sedangkan menurut Aliza Pressman, Phd, seorang psikolog pendiri Mount Sinai Parenting Center, jika berbicara mengenai anak di tingkat SMA, penjelasannya bisa menjadi lebih kompleks.Â
Anak SMA cenderung mendapat banyak informasi dari media sosial, oleh karena itu penting untuk menyadarkan bahwa media sosial memiliki algoritma yang mana bisa menggiring opini ke arah tertentu. Menurut Pressman itu cukup berbahaya. Selanjutnya diharapkan diskusi akan mengarah ke dialog tentang pentingnya literasi digital.
Unicef melalui laman website-nya juga memberikan beberapa arahan mengenai cara berdiskusi tentang konflik dan perang dengan anak. Menurutnya, penting untuk mencari tahu sejauh mana anak tahu dan apa yang mereka rasakan. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, penting pula untuk memilih gaya bahasa sesuai usia si anak.
Laman tersebut juga menggarisbawahi pentingnya untuk lebih mengarahkan kepada hal-hal serta cerita-cerita yang sifatnya positif. Pula disarankan untuk menghindari penggunaan, kata-kata, label atau stigma negatif.