Keterlibatan anak-anak dalam aksi bela Palestina lalu bukan hanya karena korban terbesar dari konflik kali ini adalah anak-anak. Lebih dari itu, utamanya, para orangtua ingin mengajarkan soal kepedulian terhadap permasalahan kemanusiaan yang ada di Palestina yang seolah tanpa akhir.
Meski begitu, tak bisa diabaikan pula fakta bahwa anak-anak memang menjadi korban terbesar dari konflik yang terjadi di Palestina kali ini. WHO sendiri mengklaim kurang lebih 160 anak terbunuh setiap harinya.
Di sisi lain, menutup mata dan telinga anak-anak di seluruh dunia dari masifnya berita yang tersebar di jagad maya tentu tidak dimungkinkan.
Anak-anak pada akhirnya tetap tahu bahwa ada daerah bernama Palestina di mana anak-anak di sana dibunuh secara brutal. Bahkan mungkin beberapa dari anak kita telah melihat video mentah para korban dengan darah berlumuran atau barisan mayat yang terbujur kaku dengan kondisi mengenaskan di antara reruntuhan bangunan.
Melalui detik.com, beberapa orangtua mengaku mengajak anaknya ikut aksi bela Palestina untuk menunjukkan apa yang tengah terjadi di negeri tersebut.
Mereka juga ingin menunjukkan bahwa meski terpaut jarak yang jauh tapi ada hal-hal yang bisa diupayakan seperti mengirim doa, berdonasi dan memberikan suara.
Di jagad blog, seorang ibu merasa cemas lalu menulis tentang pentingnya memberi tahu anak soal konflik yang terjadi di Palestina. Hal itu dilakukan guna mencegah terjadinya miss informasi yang diterima oleh si anak. Menurutnya, tanpa arahan yang jelas, anak ditakutkan akan menerima informasi mentah yang berakibat pada konklusi yang salah.
Contohnya, alasan Palestina diserang adalah karena mereka menyerang lebih dulu, sehingga serangan yang diluncurkan Israel adalah bentuk dari pertahanan diri. Anak kemudian memaklumi tindakan tersebut.
Narasi pendek semacam itu sangat mudah kita temukan di dunia maya. Belum lagi soal kabar Israel yang membayar banyak buzzer, influencer, dan artis guna menggiring opini masyarakat untuk membela mereka. Hal itu semakin menambah jumlah narasi positif tentang Israel.
Di bagian daerah lain, seorang kawan saya yang anaknya bersekolah di SD IT di Kabupaten Tangerang, mengaku bahwa anaknya sudah mendapatkan penjelasan mengenai konflik Palestina dari pihak sekolah. Kawan saya pun jadi tak perlu repot-repot untuk menjelaskan ulang secara panjang lebar di rumah.
Beda cerita dengan seorang kawan saya yang tinggal di Semarang, di mana ia menerapkan praktik boikot terhadap produk-produk pro Israel. Ia harus menjelaskan kepada si anak kenapa ia mengganti produk-produk yang biasanya mereka pakai. Karena masih berusia 6 tahun, ia pun memilih istilah dan membuat perumpamaan yang mudah dipahami oleh si anak.