Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Nggak Suka Buku Mahal, tapi Juga Menolak Buku Bajakan

6 Januari 2022   09:12 Diperbarui: 7 Januari 2022   18:09 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Dokumentasi: irerosana

Beberapa waktu lalu saya ke toko buku dan pulang dengan tangan kosong. Ini mungkin bukan hal besar bagi orang lain tapi tidak bagi saya. 

Pasalnya saya terbiasa membeli setidaknya satu buah buku, atau kalau memang sedang bokek-bokeknya saya akan menebus beberapa di stand buku diskon yang letaknya dekat dengan pelataran parkir.

Tapi kala itu saya tidak melakukannya dan pulang dengan sebongkah keresahan. Harga buku semakin mahal saja, kira-kira bagaimana nasib saya di kedepannya, ya? Apakah masih mampu memindahkan mereka ke rak buku pribadi?

Pikiran semacam itu melintas pasca melihat buku Haruki Murakami berjudul Kronik Burung Pegas yang harganya mencapai 199.000 rupiah yang kalau beli online didiskon menjadi 149.250 rupiah dan bagi saya tetap saja mahal karena belum termasuk ongkir.

Ada lagi buku terbaru Haruki Murakami berjudul Membunuh Commendator yang terdiri dari 2 jilid yang masing-masingnya dibandrol harga 145.000, sementara di online didiskon sebanyak 25% menjadi 108.000 rupiah (tentu belum termasuk ongkir) atau buku -- buku Dewi Lestari yang entah mengapa sekarang lebih sering bermain angka di atas seratus ribuan.

Saya bilang mahal karena saya berupaya menjumlahkan keseluruhan dari harga serinya. Seperti contohnya, untuk menyelesaikan buku Rapijali (jilid 1, 2 dan 3) saya harus merogoh kocek hingga 407 ribu rupiah. Angka yang tidak sedikit tentunya. 

Belum lagi jika saya ingin menambah 2 karya terbaru Haruki Murakami yang berjudul Membunuh Commendator yang kurang lebih sekitar 250 ribuan (versi beli online + ongkir).

Rasa-rasanya hitungan di atas bertolak belakang dengan prinsip yang selama ini saya pegang, bahwa berapapun harga buku tetaplah murah dan mahal hanyalah persepsi.

Saya bahkan berpikir orang bisa bilang harga buku 100 ribu mahal, tapi di lain hal mereka membeli pulsa ratusan ribu dan terasa murah-murah saja. 

Bukankah hal semacam itu menandakan bahwa mahal dan murah hanyalah persepsi, tergantung mana yang kita suka dan anggap penting dan mana yang tidak?

Sayangnya, pendapat seperti itu harus terbentur realita. Sekarang bayangkan, bagi seorang kutu buku tentu tak cukup hanya membaca 1 atau 2 karya saja, artinya dia harus membeli beberapa judul untuk menuntaskan rasa haus akan bacaannya. Artinya, saya tidak lagi sedang menghitung angka-angka ratusan tapi jutaan rupiah yang harus dikeluarkan setiap bulannya.

Alasan mengapa buku mahal dan perhitungan harga buku pernah dibahas oleh Eka Kurniawan di geotimes.id. Perhitungan kurang lebihnya seperti ini, dari 100% harga buku maka 40% untuk biaya toko, 10% PPN, 5% PPN, 10% royalti penulis, 10% biaya distribusi dan sisanya adalah biaya produksi yang mencakup kertas, cetak, binding, wrapping, desain sampul, desain layout dan lain-lain. 

Mengetahui bagaimana harga buku terbentuk beserta tingkat kualitas isi yang dihadirkan masing-masing penulis memang membawa titik terang serta jawaban mengapa buku mahal, namun tidak menjawab bagaimana konsumen mampu membayar harga tersebut.

Saya khawatir hal ini justru melemahkan minat baca masyarakat. Terlebih di saat ini banyak hal baru yang menyita perhatian dan lebih murah meriah ketimbang membaca buku seperti bermain sosial media, bermain tiktok, menonton podcast, bermain game online, dan lain sebagainya.

Hal ini juga sejalan dengan hukum ekonomi di mana minat konsumen terhadap suatu barang atau jasa salah satunya ditentukan oleh harga. Harga yang tinggi menyebabkan permintaan menurun begitupun sebaliknya.  

Lebih jauh, harga tinggi juga akan memicu menjamurnya buku-buku bajakan yang tentunya akan lebih merugikan banyak pihak.

Soal buku bajakan, tentu sebagai penyinta buku saya keberatan dan menolak itu! Buku bajakan bukan cuma perkara kebutuhan bacaan dan harga murah saja tapi juga soal mengambil hak orang lain. 

Tidak hanya menyakiti penulis tapi juga seluruh orang yang terlibat dalam proses penerbitan buku. Karena itulah buku bajakan tidak pernah bisa menjadi solusi bagi mahalnya harga buku (yaiyalah ya!)

Apakah ada solusi agar pembaca tidak membeli buku bajakan tapi enggan membeli buku asli yang lebih mahal? Tentu saja ada. Ada beberapa ide seperti meminjam buku di perpustakaan atau teman, mencari buku gratisan dengan mengikuti event-event buku serta ikut kuis gratis.

Tapi ide tersebut hanya menyelesaikan persoalan dari satu sisi, yaitu pembaca tapi tidak menyelesaikan persoalan dari segi penulis dan penerbit buku.

Dunia buku bisa terus berputar jika setiap pihak tetap menjalankan fungsinya, penulis menulis, penerbit menerbitkan dan mengedarkan buku, sementara pembaca membelinya. Dengan begitu siklus hidup buku tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Persoalan buku haruskah murah ataukah mahal memang selalu menjadi dilema. Jika mahal konsumen yang kena imbasnya, sementara jika murah maka penulis dan pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitanlah yang akan terkena imbasnya.

Dalam kondisi demikian, sudah selayaknya kita semua berharap pihak ketiga hadir memberi perhatian terhadap isu-isu dalam dunia perbukuan. Siapa lagi kalau bukan pemerintah. 

Sepakat dengan Eka Kurniawan, untuk menekan harga buku, pemerintah sebaiknya menghapus PPN penjualan buku. Hal ini terdengar lebih santun ketimbang memotong jatah royalti pihak lain, bukan?

Sebetulnya pemerintah kita juga telah berupaya memberi sedikit perhatian dengan menerbitkan PMK No. 5/PKM.010/2020 mengenai penghapusan PPN  bagi buku pelajaran, agama dan kitab suci, namun bukankah lebih baik jika tidak terbatas pada 3 kategori tersebut saja. 

Bukankah buku pelajaran maupun buku fiksi sama baiknya? Ada banyak sekali manfaat membaca yang mungkin bisa kita bahas secara terpisah di artikel yang lain dan tidak terbatas pada 3 kategori itu saja.

Di zaman medsos seperti sekarang ini, budaya membaca sangat dibutuhkan. Hal tersebut juga disadari oleh Kominfo yang berkata soal munculnya kebiasaan baru di masyarakat kita yaitu "malas membaca tapi cerewet di medsos".

Minat baca masyarakat Indonesia dikategorikan rendah namun waktu yang digunakan untuk bermain gadget tergolong tinggi, tak ayal masyarakat kita mendapat urutan ke 5 dalam hal kecerewetan di medsos. Itulah juga mengapa dikatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang mudah terprovokasi dengan hoax dan fitnah.

Dengan menghapus PPN untuk buku, secara tidak langsung bisa dikatakan pula sebagai upaya pemberantasan hoax di tengah masyarakat. 

Kinerja kominfo dan Turnbackhoax yang babak belur melawan banjiran hoax yang beredar di tengah masyarakat pun menjadi lebih ringan.

Hal lain yang terpikir dalam benak saya adalah menjadikan kegiatan membaca bukan sebagai sesuatu yang spesial, namun hal umum atau biasa yang dilakukan oleh siapa saja kapan saja dan di mana saja. 

Saya ingin sekali melihat orang-orang membaca buku di kala mereka menunggu kereta, menunggu kawan di cafe atau di halte layaknya yang terjadi di beberapa negara maju.

Jika minat baca meningkat maka akan dibarengi dengan meningkatnya jumlah permintaan serta kebutuhan akan buku bacaan. Kemudian, buku-buku akan diproduksi secara masal dan harga jual bisa lebih ditekan.

PR-nya adalah bagaimana membangun budaya membaca di tengah masyarakat yang sudah enjoy dengan berbagai hiburan gratis di ponsel mereka? Saya rasa ini akan menjadi PR bersama baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. 

Kita perlu belajar dari beberapa negara dengan predikat tingkat literasi tinggi seperti Finlandia, Belanda, Swedia, Australia dan Jepang di mana budaya membaca sudah diterapkan dari semenjak bayi.

Di negara-negara tersebut keluarga yang mempunyai bayi baru lahir akan mendapat bingkisan paket buku bacaan. 

Budaya membacakan cerita sebelum tidur juga dilakukan secara turun temurun sehingga konsep membaca menjadi sangat dekat sejak dari usia dini.

Kesuksesan budaya membaca juga tidak terlepas dari peran pemerintah yang memberikan perhatian serta dukungan melalui berbagai program-program seperti Reading Challenge di New South Wales serta menjadikan kegiatan membaca sebagai agenda rutin sebelum dan sesudah sekolah seperti di  Belanda.

Saya berharap kegiatan membaca buku di negeri ini bisa sangat meriah dengan dukungan dan perhatian dari banyak pihak terutama pemerintah. Seperti halnya ketika pemerintah mendukung berkembangnya e-sport dengan mengkampanyekannya melalui berbagai turnamen seperti penyelenggaraan Piala Presiden.

Memang kegiatan membaca bagi khalayak umum terdengar klasik dan membosankan, tapi jika dikampanyekan dengan cara milenial dan bekerja sama dengan publik figure yang tepat, siapa tahu bisa menarik minat masyarakat untuk membaca buku. Seperti halnya seorang Jerome Polin yang bisa membuat matematika menjadi konten menarik di YouTube dan TikTok.

Siapa tahu di beberapa tahun kemudian, kampanye membaca akan viral dan banyak ditemui diberbagai sosial media. 

Siapa tahu masyarakat Indonesia nantinya akan lebih sering membaca, sesering kegiatan men-scroll akun tiktok dan instagram. 

Yah, namanya juga berharap, sah-sah saja, kan?!

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun