Bila tidak membalas balik, bisa-bisa orang yang bersangkutan tersinggung karena tidak dianggap dan tidak dihargai. Kondisi semacam ini otomatis mengharuskan kita untuk mengundang balik seseorang.
Di pernikahan saya sendiri tidak ada acara ngunduh mantu, maka jangan heran jika undangannya lebih dari 2000-an orang. Jumlah tersebut terdiri dari undangan munjung sebanyak 200-an dan sisanya undangan biasa dari kedua belah pihak keluarga.
Tradisi Munjung masih ditemukan khususnya di masyarakat desa atau daerah. Namun, lambat laun tradisi ini mengalami perubahan baik dari segi tempat yang digunakan maupun menu yang dipilih.
Masyarakat kota sendiri sudah mulai meninggalkan cara mengundang seperti itu. Alasannya tentu ribet , mahal, dan tidak praktis. Tidak dipungkiri, munjung memerlukan biaya yang tidak sedikit, belum lagi soal siapa orang yang akan memasak dan mengantarnya.
Di desa atau daerah tradisi ini memerlukan campur tangan masyarakat setempat, diantaranya tetangga yang membantu mempersiapkan masakan serta pemuda dan pemudi karang taruna yang bersedia membantu mengantarkan.
Munjung umumnya tidak bisa dilakukan sendiri oleh pihak keluarga yang punya hajat. Koordinasi dan kekerabatan dengan masyarakat setempat menjadi bagian erat untuk bisa dilaksanakannya tradisi ini.
Sementar di kota, hal semacam itu hampir tidak bisa dilakukan. Acara pernikahan di kota akan berakhir dengan Wedding Organizer.Â
Sistem kekerabatan di kota sangat kurang dan cenderung individualis. Itulah mengapa tradisi munjung jarang ditemukan di kota-kota besar.
Jika diambil sisi positif, tradisi munjung sebetulnya cermin dari masyarakat yang dekat, akrab, dan peduli terhadap sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H