Bagi pasangan yang akan menikah, menentukan jumlah undangan serta siapa saja yang diundang menjadi hal yang penting.Â
Hal tersebut tak lain berkaitan dengan banyaknya biaya yang akan dikeluarkan, baik dari segi percetakan undangan maupun porsi menu yang akan dihidangkan.
Seringkali hal ini menjadi perdebatan di antara anggota keluarga. Seperti yang dulu saya alami. Saya menginginkan pernikahan yang sederhana dengan mengundang segelintir orang sementara orangtua berpendapat lain.
Menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga menjadi alasan banyak orang tua di Jawa khususnya untuk membuat acara pernikahan yang meriah dengan ribuan undangan.Â
Alasannya, setelahnya tak akan ada lagi pernikahan yang harus dirayakan. Pernikahan dari sisi pria di sini dianggap tidak perlu "terlalu" dirayakan.
Di Jawa ada istilah ngunduh mantu, di mana mempelai wanita diboyong ke rumah si pria. Umumnya proses ini dilakukan setelah pesta pernikahan di rumah perempuan selesai dilakukan.Â
Dalam tradisi ngunduh mantu seluruh biaya ditanggung oleh keluarga si pria. Sifatnya tidak wajib, tergantung dari keinginan dan kondisi finansial keluarga pria.
Melihat pada banyaknya biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya untuk meminang wanita, banyak pria di Jawa menghindari acara ngunduh mantu. Kalaupun tetap ingin melakukannya, hanya sebatas acara pertemuan kedua keluarga secara tertutup.
Penentuan jumlah undangan tidak terlepas dari konsep apakah pesta digelar hanya sebatas di rumah si perempuan ataukah juga akan ada ngunduh mantu.Â
Bila hanya ada satu pesta maka biasanya undangannya adalah gabungan antara tamu kedua belah keluarga yang mana jumlahnya akan lebih banyak. Lain hal jika pesta dilangsungkan masing-masing pihak maka undangannya dikelola masing-masing pula.
Jika dipikir secara logika, undangan tentunya adalah hak namun, di Jawa ada kalanya berubah menjadi menjadi suatu kewajiban. Mengapa?
Di Jawa khususnya Jateng ada tradisi namanya munjung, yaitu mengirim makanan disertai undangan kepada mereka yang dianggap masih kerabat atau berhubungan dekat dengan pihak pengantin atau pihak yang memiliki hajat (termasuk di sini para tetangga dekat).
Tradisi ini biasanya dilakukan 1 minggu sebelum pernikahan berlangsung.Â
Dahulu tradisi munjung dilakukan dengan mengirim makanan dengan rantang yang isi masing-masing antara lain: nasi, daging, ayam, sayur telur, sayur kentang -krecek, dan mie goreng. Namun menu ini sifatnya tidak wajib dan bisa disesuaikan dengan keinginan serta kondisi.Â
Orang yang di-punjung (yang mendapat kiriman) akan segera mengeluarkan isi rantang tersebut dan mengembalikan rantangnya kepada si pengirim.
Sekarang, munjung lebih praktis dan fleksibel, bisa menggunakan wadah plastik atau besek sehingga tidak perlu dikembalikan.Â
Beberapa daerah lain yang saya temu seperti di Sukoharjo misalnya malah menggunakan dus kotak. Isinya sama seperti nasi kotak biasa. Beda daerah, beda pula adat serta tradisinya.
Munjung menjadi salah satu bentuk undangan yang paling sopan dan dianggap menghargai orang yang diundang.Â
Ketika seseorang mendapat punjungan sebagai bentuk undangan maka orang tersebut dianggap kerabat dekat oleh si empunya hajat.Â
Tentunya tidak etis dan tidak elok apabila nanti orang tersebut memiliki hajat tapi tidak munjung balik. Itu sama halnya dengan mengibar bendera perang, sudah dianggap kerabat tapi tidak menganggap balik.
Di Jawa ada rasa sungkan dan kurang nyaman ketika tidak membalas kebaikan orang. Munjung dianggap sebagai bentuk kebaikan dan apresiasi terhadap diri seseorang.Â
Bila tidak membalas balik, bisa-bisa orang yang bersangkutan tersinggung karena tidak dianggap dan tidak dihargai. Kondisi semacam ini otomatis mengharuskan kita untuk mengundang balik seseorang.
Di pernikahan saya sendiri tidak ada acara ngunduh mantu, maka jangan heran jika undangannya lebih dari 2000-an orang. Jumlah tersebut terdiri dari undangan munjung sebanyak 200-an dan sisanya undangan biasa dari kedua belah pihak keluarga.
Tradisi Munjung masih ditemukan khususnya di masyarakat desa atau daerah. Namun, lambat laun tradisi ini mengalami perubahan baik dari segi tempat yang digunakan maupun menu yang dipilih.
Masyarakat kota sendiri sudah mulai meninggalkan cara mengundang seperti itu. Alasannya tentu ribet , mahal, dan tidak praktis. Tidak dipungkiri, munjung memerlukan biaya yang tidak sedikit, belum lagi soal siapa orang yang akan memasak dan mengantarnya.
Di desa atau daerah tradisi ini memerlukan campur tangan masyarakat setempat, diantaranya tetangga yang membantu mempersiapkan masakan serta pemuda dan pemudi karang taruna yang bersedia membantu mengantarkan.
Munjung umumnya tidak bisa dilakukan sendiri oleh pihak keluarga yang punya hajat. Koordinasi dan kekerabatan dengan masyarakat setempat menjadi bagian erat untuk bisa dilaksanakannya tradisi ini.
Sementar di kota, hal semacam itu hampir tidak bisa dilakukan. Acara pernikahan di kota akan berakhir dengan Wedding Organizer.Â
Sistem kekerabatan di kota sangat kurang dan cenderung individualis. Itulah mengapa tradisi munjung jarang ditemukan di kota-kota besar.
Jika diambil sisi positif, tradisi munjung sebetulnya cermin dari masyarakat yang dekat, akrab, dan peduli terhadap sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H