Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Money

Geliat Bisnis Syariah, Latah atau Substansial

17 Januari 2025   13:57 Diperbarui: 17 Januari 2025   13:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan muncul euforia masyarakat untuk beralih kembali ke sistem ekonomi syariah. Peningkatan angka pengguna harus dibarengi perbaikan dan keterbukaan yang semakin luas.

Ada sebanyak 7,44% pangsa pasar perbankan syariah dari total aset perbankan nasional di Indonesia (data SPS OJK, September 2024). Meski belum dominan, geliat penetrasi ekonomi syariah masih berpeluang cukup tinggi.

Padahal berkaca pada struktur masyarakat, penduduk Indonesia di dominasi beragama Islam, meskipun sebaran latar belakang paradigma pemikiran penduduknya beragam. Lihat saja bagaimana dulu, Clifford Geertz, terang-terangan mendikotomi masyarakat Jawa menjadi Abangan, Santri, dan Priyayi. Setelahnya di era moderan pun, penduduk Indonesia beragama Islam punya spektrum pemikiran, dari Fundamentalis-Tekstualis, Moderat-Konstektualis, Liberalis-Modernis.

Toh, Ekonomi syariah kerapkali dikesampingkan, atau boleh dikatakan "dianak-tirikan" dalam konstelasi sistem ekonomi nasional. Contohnya meskipun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seperti Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, dan lainnya, kian menggurita, namun diakui masih terlampau lebar  pengelolaan asetnya dibandingkan lembaga keuangan konvensional.

Lalu mengapa saat ini gairah warga untuk menggunakan sistem ekonomi berbasis syariah kembali tinggi? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat kita mulai dari diksi "kembali", dimana secara pelaksanaannya, bisnis syariah atau ekonomi syariah telah hadir beberapa dekade lalu, meskipun gemanya terdengar sumbing, kalah oleh derasnya pengaruh ekonomi konvensional, yang berbasiskan liberalisme-kapitalisme.

Meneropong Konsep Riba

Sejak lama yang digaung-gaungkan oleh bisnis syariah atau ekonomi syariah ialah lepas dari jeratan riba'. Secara konseptual riba' adalah penambahan atas substitusi yang diterima didasarkan pada penghitungan potensi di masa depan (time value of money). Pilar utama riba' adalah Present Value (PV) dikali jumlah periode waktu (n) ditambah tingkat bunga per periode (r) yang akan menghasilkan Future Value (FV).

Relevansi konsep riba' (interest, bunga, diskon) pada sektor ekonomi konvensional mengedepankan pada proyeksi pengambilan keputusan investasi, proyeksi pemberiaan pinjaman atau kredit, perencanaan keuangan, dan penilaian atas nilai aset.

Sebaliknya dampak negatif berupa ketidakadilan penetapan sistem bunga, peningkatan ketimpangan sosial, spekulasi atas resiko finansial, dan gejolak inflasi adalah musabab dari ekonomi konvensional.

Konsep fundamental inilah yang menjadi cerminan ekonomi moderan, dan merupakan pembeda utama dalam konsep bisnis syariah yang berbasis pada kemitraan (partnership/cooperation) dan aset (underlying asset).

Exit door bernama Bisnis Syariah

Rupanya belakang masyarakat mulai keranjingan menggunakan sistem ekonomi syariah guna transaksi keuangan. Alasan utama tentu kesadaran pentingnya menaati perintah agama menjauhi riba', selanjutnya sebagai pilihan alternatif sistem ekonomi. Lalu, besarnya potensi pasar di Indonesia seringkali tidak berkorelasi dengan penggunaan sistem ekonomi/bisnis syariah.

Kemunculan ramainya peminat ekonomi syariah jangan hanya dinilai sebagai kelatahan masyarakat, namun secara substansial, ini merupakan hasil dari proses panjang transformasi yang dilakukan oleh pemerintah. Persoalan mendasar salah satunya terkait kurangnya literasi keuangan syariah, meskipun secara komprehensif masyarakat belum memiliki preferensi ekonomi yang kuat baik konvensional maupun syariah, hal inilah yang menyebabkan merebaknya penipuan, tindakaln spekulatif, dan money game, yang pada akhirnya mengerus kepercayaan masyarakat umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun