BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1970-an, Surakarta merupakan salah satu tempat tujuan orang-orang China bermigrasi, kemudian ada sebagian dari mereka yang tinggal dan menetap hingga saat ini. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya ketegangan hubungan antara China (etnis Tionghoa) dengan masyarakat Surakarta dan sekitar. Di mana saat itu Kota Surakarta yang menjadi pusat terjadinya konflik diantara keduanya merupakan kota yang terkenal dengan sikap masyarakatnya yang lemah lembut, sopan santun, serta lebih mengedepankan keharmonisan. Masyarakat Surakarta dalam menjalin interaksi sosial terkadang timbul berbagai masalah yang menyebabkan kerusuhan, karena sikap lemah lembutnya yang agresif. Dalam realitas sosial orang-orang Tionghoa di Surakarta senantiasa mendapatkan stigma dan citra jelek, padahal realitas kultural orang-orang Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan budaya Jawa (Rustopo, 2007:2).
Sebenarnya, konflik etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1742-an yang dikenal dengan “Bedah Kartasura”. Saat itu konflik ini terjadi di Kartasura sebagai pusat Mataram yang menjadi pusat otoritas. Dari sifat permusuhan antar etnis ini pada akhirnya yang terlihat adalah konflik antara China (etnis Tionghoa) versus Pribumi. Saat itu pada masyarakat pribumi timbul kecemburuan ekonomi pada masa orba (orde baru) karena perekonomian (dalam skala nasional & skala lokal) ialah wilayah Surakarta yang mayoritas masih didominasi oleh mereka pengusaha-pengusaha Tionghoa. Di bawah pemerintahan Orde Baru, ketegangan antara orang Cina dengan penduduk pribumi terus tumbuh sebagai akibat dari meluasnya jarak antara yang kaya dan yang miskin dalam negara serta upah rendah yang diberikan kepada pejabat birokrasi, militer dan polisi (Onghokham, 2008:24).
1.2 Rumusan Masalah
- Mengapa Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998 ini dapat terjadi?
- Bagaimana dampak dari Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998?
- Bagaimana upaya pemerintah saat itu dalam menangani Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah “Pengantar Sosiologi”.
- Untuk menjelaskan teori apa yang sesuai dengan kasus Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998.
- Untuk menjelaskan penyebab terjadinya Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998.
- Untuk menjelaskan dampak akibat Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada tahun 1972-1998.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Teori Terkait Konflik Tionghoa dan Pribumi pada Tahun 1972-1998
Membahas mengenai teori, sebelumnya teori itu memiliki definisi tersendiri. Teori ialah beberapa pernyataan yang telah terkumpul dan disusun secara sistematis. Pada dasarnya, teori harus mengandung sebuah konsep, definisi ataupun pernyataan yang logis dan teoritis terhadap konsep tersebut. Konflik sendiri juga memiliki makna sebuah pertengkaran atau perselisihan. Secara sosiologi, konflik ialah sebuah pertentangan yang secara terbuka antar individu, antar kelompok ataupun antar bangsa. Dengan begitu bisa disimpulkan bahwa teori konflik adalah suatu pernyataan yang telah dikumpulkan mengenai konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Jika dilihat dalam perspektif sosiologi, kasus yang saya ambil ini berkaitan dengan teori konflik. Dimana teori konflik disini memandang bahwa perubahan-perubahan sosial terjadi bukan karena penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat yang membawa perubahan, tetapi melalui sebuah konflik yang terjadi pada suatu daerah hingga akhirnya dapat mengubah kondisi daerah tersebut. Dalam konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi di Surakarta terlihat bahwa perubahan yang terjadi di daerah tersebut disebabkan karena adanya sebuah konflik. Konflik yang semula terjadi antara individu dengan individu yang kemudian meluas hingga menimbulkan banyak kerugian di berbagai sektor.
2. 2 Penyebab Terjadinya Konflik Tionghoa dan Pribumi di Surakarta pada Tahun 1972-1998
Konflik Tionghoa dengan pribumi ini terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti berikut.
1. Adanya provokasi hingga terbentuk mobilisasi masa
Konflik antara Tionghoa dengan Pribumi ini terjadi pada tahun 1972. Saat itu terbentuk mobilisasi massa ketika tiba-tiba tersebar berita bahwa ada tukang becak yang terbunuh oleh warga keturunan Arab. Keesokan harinya seluruh tukang becak yang ada di Surakarta berkumpul di lokasi kejadian tersebut karena ada yang memprovokasi agar memprotes si pelaku pembunuhan tersebut.
Mobilisasi masa juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan membesarnya suatu konflik yang terjadi pada tahun 1980 dengan lokasi yang masih sama, yaitu di Surakarta. Pada peristiwa tersebut terbentuk mobilisasi masa yang disebabkan karena adanya provokasi oleh Pipiet sebab tidak terima atas penyerangan yang menipanya, lalu Pipiet mengumpulkan sekitar 50 orang teman sekolahnya untuk berdemo di jalan Urip Sumoharjo (Wasino, 2006: 65).
Pada tahun 1998, sejumlah mobilisasi massa sudah terjadi ketika ada aksi damai di UMS. Saat itu, aksi dari para mahasiswa ini sangat sulit diredan oleh apadat keamanan (kepolisian) sehingga mereka keluar kampus, ketika itu justru semakin banyak massa yang berkumpul. Selain itu juga ada provokasi dari warga itu sendiri untuk membakar rumah-rumah orang China. Dari Ajakan-ajakan tersebut akhirnya banyak warga berkumpul dan bergerak menuju pusat kota Surakarta.
2. Adanya konflik individual
Konflik antara etnis Tionghoa dengan Pribumi juga disebabkan karena adanya konflik individual. Pada tahun 1972 dan 1980 menjadi awal mulai konflik besar yang terjadi di Surakarta, dimana seharusnya konflik individual ini tidak menyebabkan konflik yang sebegitu parah dan mengerikan. Namun, uniknya konflik ini bermula dari perbedaan pemahaman antara encik Arab dengan penarik becak masalah pembayaran. Akhirnya terjadi adu mulut dan konflik itu berakhir dengan terbunuhnya tukang becak tersebut.
Pada tahun 1980 juga diawali dengan konflik individual yaitu perkelahian antara Pipit dengan Kicak saat itu di depan Orlane. Konflik ini awalnya terjadi karena senggolan sepeda yang dikendarai 3 siswa ketika pulang sekolah dengan seorang pemuda dari Tionghoa yang menetap di Indonesia yang saat itu sedang menyeberangi jalan di jalan Urip Sumoharjo. Karena tidak terima Kicak memukuli Pipit hingga luka-luka.
3. Adanya aksi mahasiswa
Konflik yang terjadi pada tanggal 14 Mei 1998 diawali dengan aksi demonstrasi yang dilancarkan oleh mahasiswa, saat itu demonstrasi terjadi di 2 tempat yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dari keduanya, UNS lah yng mulai munculkan kekerasan massa selama demonstrasi. Hingga pada akhirnya kejadian tersebut meluas, lalu para mahasiswa pun bergegas bergerak pergi keluar kampus. Aksi damai ini dilakukan guna menuntut Reformasi pada masa pemerintahan Soeharto, akan tetapi seketika kasus ini terjadi bentrok dan juga warga sekitar di lokasi tersebut terprovokasi sehingga dari kejadian ini menjadi awal mula kerusuhan Mei 1998.
2.3 Dampak dari Konflik Tionghoa dan Pribumi pada Tahun 1972-1998
Pada konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi tentu ada dampak setelah kejadian tersebut, dampak itu bisa dibagi menjadi 2 yaitu dampak ekonomi dan dampak material.
- Dampak ekonomi
Dampak dari konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi diantaranya yaitu dampak dibidang perekonomian, khusus nya di wilayah pasar Pon, pasar Kliwon serta wilayah sekitarnya yang pada saat itu perekonomian nga sangat lumpuh total. Semenjak konflik tersebut terjadi, para pedagang tidak berani membuka toko untuk berjualan sebab mereka khawatir akan ada konflik susulan yang akan terjadi kembali. Alhasil, warga sekitar kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan nya. Dampak dari konflik yang terjadi kali ini bisa dibilang lebih besar daripada dampak yang terjadi sebelumnya. Sebab, peristiwa ini melibatkan para preman. Benar saja, pada tanggal 21 November 1980 banyak toko-toko China yang menjadi sasaran amukan massa. Selain itu juga terjadi kebakaran di pabrik-pabrik besar, akibatnya banyak warga buruh pabrik yang menjadi pengangguran.
- Dampak material
Pada konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi yaitu ketika kerumunan massa bergegas pergi ke pasar Kliwon sekaligus pusat perdagangan dengan tujuan untuk merusak toko-toko milik orang Arab. Namun, ketika sore hari tiba, dampak dari konflik ini semakin meluas hingga merusak dan membakar toko-toko yang diperkirakan milik orang-orang Tionghoa.
2.4 Upaya Pemerintah dalam menangani Konflik Tionghoa dan Pribumi pada Tahun 1972-1998
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani Konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ialah sebagai berikut.
- Peran ABRI
Pada konflik ini, pemerintah mengerahkan para ABRI mulai dari NTI AD, TNI AU, TNI AL. Pihak kepolisian pun juga turut membantu menghalau konflik besar yang tengah terjadi. Para TNI beserta para polisi terus melakukan pemantauan di berbagai lokasi untuk memastikan bahwa tempat yang mereka kunjungi aman terkendali adanya konflik tersebut. Penanganan kasus konflik ini pada tahun 1972 tidak banyak melibatkan pihak TNI dan kepolisian daripada tahun 1980, sebab konflik ini hanya terjadi dalam skala lokal di Surakarta. Untuk itu para TNI dan kepolisian tetap menjaga-jaga daerah sekitar tempat kejadian agar tidak terjadi kekacauan serupa. Dalam proses penanganan konflik tersebut, aparat TNI dan kepolisian diberikan hak represif untuk melakukan penembakan terhadap pelaku, kemudian selanjutnya dengan menjalankan tugas dari kepolisian. Lalu para perusuh konflik tersebut akhirnya ditangkap untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
- Peran Pemerintah
Dalam konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ini ialah dengan membantu menenangkan para warga yang tengah ketakutan pasca konflik itu terjadi. Walikota Sukatmo, SH., melalui seruannya beliau menghimbau kepada seluruh warga setempat agar tidak mudah terpancing dengan isu-isu yang saat itu sedang beredar, sebab kita harus membuktikan terlebih dahulu isu tersebut benar atau tidak. Beliau juga mengatakan bahwa ia akan menindaklanjuti orang yang menjadi dalang penyebab dari semua konflik yang terjadi. Akibat dari konfliknya menyebabkan lumpuhnya perekonomian dan warga sekitar daerah Surakarta juga merasakan kesengsaraan. Oleh karena itu, dari pemerintah sendiri mengajak para warga untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Namun, warga justru malah menolak dan meminta agar aparat penegak hukum menindak tegas kepada si para pelaku konflik tersebut.
- Peran Organisasi
Dalam konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ini pada akhirnya menimbulkan sikap empati dari berbagai organisasi di daerah Surakarta. Pada tahun 1998 beberapa orang membentuk kelompok dengan menyebut nya sebagai Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) yang kemudian mereka mengeluarkan atau menyampaikan pendapat seperti berikut. Bahwa SMPR menganggap konflik yang telah terjadi ini sebagai tindakan brutal yang dilakukan masyarakat tersebut, sebab konflik tersebut adalah hal yang kontrak dengan aksi Reformasi yang saat itu terjadi dan perlu diketahui bahwa konflik tersebut tidak termasuk ke dalam bagian dari aspirasi mahasiswa yang saat itu menuntut adanya reformasi politik, hukum serta ekonomi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dahulu, Kota Surakarta sebagai salah satu pusat konflik yang pada saat itu masyarakat nya cenderung terkenal lemah lembut, sopan santun serta lebih mengedepankan keharmonisan. Sebenarnya, konflik etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1742-an yang dikenal dengan “Bedah Kartasura”.
Dari konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ini dipicu oleh faktor yang memicu terjadinya konflik ini sehingga menyebabkan kekacauan yang sangat parah sehingga memakan banyak korban jiwa. Faktor yang memicu terjadinya konflik ini antara lain yaitu adanya pembentukan mobilisasi, konflik individual serta aksi mahasiswa. Dari konflik tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang sangat besar mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, transportasi serta kerugian lainnya yang juga dialami oleh masyarakat sekitar. Sedangkan untuk menangani konflik yang terjadi banyak berbagai pihak yang turut membantu mulai dari ABRI beserta kepolisian, pemerintah serta organisasi-organisasi yang turut membantu menangani kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Nurjanah, F., & Saputra, A. (2021). Srategi Spasial Kalangan Tionghoa di Kauman Surakarta. Nalars, 20(1), 29-36.
Onghokham. (2008). Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Putro, Y. A., Atmaja, H. T., & Sodiq, I. (2017). Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun 1972-1998. Journal of Indonesian History, 6(1).
Rustopo. (2007). Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Tualeka, M. W. N. (2017). Teori konflik sosiologi klasik dan modern. Al-Hikmah, 3(1), 32-48.
Wasino. (2006). Pertiwi. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-Liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Semarang: UNNES Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H