Dahulu, Kota Surakarta sebagai salah satu pusat konflik yang pada saat itu masyarakat nya cenderung terkenal lemah lembut, sopan santun serta lebih mengedepankan keharmonisan. Sebenarnya, konflik etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1742-an yang dikenal dengan “Bedah Kartasura”.
Dari konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi ini dipicu oleh faktor yang memicu terjadinya konflik ini sehingga menyebabkan kekacauan yang sangat parah sehingga memakan banyak korban jiwa. Faktor yang memicu terjadinya konflik ini antara lain yaitu adanya pembentukan mobilisasi, konflik individual serta aksi mahasiswa. Dari konflik tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang sangat besar mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, transportasi serta kerugian lainnya yang juga dialami oleh masyarakat sekitar. Sedangkan untuk menangani konflik yang terjadi banyak berbagai pihak yang turut membantu mulai dari ABRI beserta kepolisian, pemerintah serta organisasi-organisasi yang turut membantu menangani kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Nurjanah, F., & Saputra, A. (2021). Srategi Spasial Kalangan Tionghoa di Kauman Surakarta. Nalars, 20(1), 29-36.
Onghokham. (2008). Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Putro, Y. A., Atmaja, H. T., & Sodiq, I. (2017). Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun 1972-1998. Journal of Indonesian History, 6(1).
Rustopo. (2007). Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Tualeka, M. W. N. (2017). Teori konflik sosiologi klasik dan modern. Al-Hikmah, 3(1), 32-48.
Wasino. (2006). Pertiwi. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-Liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Semarang: UNNES Press.