Catatan Tim Wantannas Bagian II - Setelah Pendeta Theo Suangburaro, kali ini Tim Holistik Wantanas melakukan kunjungan kedua orang Pendeta yang juga berperan penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia di Wilayah Tanah Papua (WTP), dengan konsentrasi peran masing-masing. Kedua pendeta itu masing-masing: (1) Pendeta Wellem Maluali dan (2) Pendeta Mesakh Koobuhr.Â
Dari mereka kami menimba beberapa perspektif/paradigma yang kuat tentang arah pandangan mengenai menjadi Indonesia di tanah Papua. Seperti halnya Pendeta Theo, Pendeta Wem dan Pendeta Mesakh pun merasa adanya kepedulian yang tinggi dari Wantanas, melalui kebijakan Letjen TNI Doni Monardo ~yang kini (9/1) telah dilantik menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, untuk berkunjung dan menyentuh hati orang Papua melalui kebijakan Politik Kesejahteraan/Politik Pensejahteraan Rakyat.
Apresiasi mereka berdua memperlihatkan bahwa peran Wantanas di tanah Papua dalam masa kepemimpinan Letjen Doni, merupakan cara strategis untuk memperkuat fondasi ketahanan nasional atau ketahanan negara. Sebab ketahanan nasional dapat dicapai melalui pengelolaan seluruh potensi kekayaan sumber daya bangsa (sumber daya manusia dan sumber kekayaan alam) secara integratif guna menjamin stabilitas bangsa dalam semua aspeknya.Â
Untuk itu mereka sangat berterima kasih kepada Wantanas dan mengharapkan agar kebijakan politik mensejahterahkan rakyat ini bisa dimaksimalkan, walau Letjen Doni telah mendapat tugas yang baru dari negara.
PENDETA WEM, Papua Bisa Bangkit dari Sektor Agraris dan Perikanan, beliau menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Tanah Papua selama dua periode menegaskan dirinya sebagai seorang pendeta yang matang dan mengenal kedalaman hati jemaat atau masyarakat Papua.Â
Atas pengenalannya itu, ia melakoni tugas kependetaannya tersebut dan menjadi pimpinan gereja di sebuah gereja terbesar di tanah Papua yang memiliki akar-akar pekabaran injil yang juga kokoh. Setidaknya, beliau telah turut membentuk suatu kultur kepemimpinan gereja sebagai dasar dari seluruh proses pengembangan peran kenabian GKI di Tanah Papua, dan/atau gereja-gereja di tanah Papua.Â
Ia adalah juga seorang Dosen di STT Izak Kijne, sebuah perguruan tinggi miik GKI di Tanah Papua. Pengetahuan teologinya didalaminya di STT Duta Wacana, Yogyakarta. Dengan bekal itulah ia menempa diri sebagai pendeta dan mengembangkan ilmu itu dalam pelayanan di jemaat-jemaat, hingga menjadi Ketua Sinodenya.Â
Ia adalah seorang pendeta yang matang dalam bidang teologi, kepemimpinan gereja, dan atas dasar itu ia menjalankan tugas kenabian sebagai di kancah politik praktis. Adalah Partai Golkar, yang merekrutnya menjadi politisi, sampai dipercayakan sebagai Ketua DPRD, kemudian Wakil Ketua DPRD dan dua periode berikutnya ia menjabat sebagai Anggota DPR RI.
Sebagai Pendeta yang mengenal wilayah dan karakter masyarakatnya sendiri, dan berbekal pengalamannya sebagai politisi, menurut Pendeta Wem, ada dua sektor andalan yang bisa menjadi prime-mover dan leading-sector untuk memajukan Papua, yaitu agraris dan kelautan atau perikanan (laut dan darat).Â
Kedua sektor ini tepat dikembangkan sebab dari sisi kewilayahan, Papua adalah tanah yang subur dan berbagai tanaman endemik ada di sini. Hanya saja memerlukan manajemen pengelolaan sampai pemasaran yang komprehensif. Pada sisi itu, terkesan dalam percakapan dengannya, ia beranggapan orang Papua memerlukan suatu wahana pembelajaran.Â
Salah satu wahana itu adalah program transmigrasi. Artinya melaluinya terjadi pembauran sosial yang turut memperkenalkan kepada orang Papua suatu budaya bertani yang intensif. Sehingga jika intensifikasi pertanian dilaksanakan, ada semacam succse story atau komunitas eksemplaris bagi masyarakat Papua, yakni ethos kaum transmigran.
Baginya yang penting ialah orang Papua harus bekerja, berpikir demi kesejahteraan dan keadilan. Mengapa harus bekerja, sebab alam Papua sangat menjanjikan dan berdosa jika tidak dikelolah oleh anak Papua sendiri. Jika mereka bekerja, maka taraaf kesejahteraan keluarga dan masyarakat berkembang secara langsung.Â
Itu menjadi suatu kondisi bagi terciptanya keadilan. Jadi keadilan ekonomi adalah suatu kondisi yang harus diperjuangkan melalui bekerja. Jika keadilan itu juga tergantung pada aspek struktural, menurut Pendeta Wem, orang Papua harus ada di dalam sistem sehingga turut menentukan ke arah mana sistem pensejahteraan rakyat itu akan bergerak.Â
Dalam kaitan itu, ia sangat mengapresiasi inisiasi Wantanas, melalui Letjen Doni Monardo, guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengajak orang Papua mengembangkan potensi sumber kekayaan alam yang khas di Papua baik pada sektor agraris dan kelautan/perikanan (laut dan darat). Agar keadilan ekonomi itu terbentuk, maka menurut Pendeta Wem, masyaarakat Papua yang harus trampil mengelolah lingkungannya sendiri.Â
Sebab itu memerlukan kesadaran lingkungan sehingga alam yang kaya ini benar-benar memberi dampak kesejahteraan secara langsung kepada masyarakat. Dirinya berharap agar kebijakan Wantanas ini bisa dijalankan terus. Karena itu sebagai Pendeta yang telah turut melakoni tugas pensejahteraan rakyat Papua, ia sangat berterima kasih atas kunjungan Tim Holistik Wantanas (9/1-2018) di rumahnya.Â
Hal itu baginya adalah suatu berkat, sebab selain Presiden Soeharto yang pernah atau bahkan selau dijumpainya, setelah masa pensiunnya ini, ia baru mendapat kunjungan dari pejabat negara, melalui Wantanas.
PENDETA MESAKH, Saksi Kewibawaan Bangsa di Tanah Papua Pendeta Mesakh Koobuhr, mungkin adalah salah seorang Pendeta GKI yang juga pernah berjumpa dengan Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno, sebagaimana Pendeta Theo Suangburaro. Ia telah usur kini, berusia 82 tahun.Â
Namun ingatannya tentang prosesproses mendirikan kewibawaan Indonesia di tanah Papua tidak hilang termakan usianya. Dirinya menuturkan: "Saat Perang Trikora, Ir. Soekarno datang dengan kapal. Saat itu saya menjabat sebagai Sekretaris Sinode GKI di Tanah Papua. Kami menjemputnya ke kantor Sinode, dan kemudian mengaraknya ke Lapangan Mandala untuk menyampaikan pidato di hadapan masyarakat Papua".Â
Pidato-pidato Ir. Soekarno begitu membekas dalam ingatannya. Dilanjutkannya bahwa, pada tahun 1964, ia turut menghadiri Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) ~sekarang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). "Saya ingat betul, bapak Presiden Soekarno berpidato di hadapan Sidang Raya dengan mengatakan bahwa, Yesus Kristus adalah gembala yang sangat baik".
Baginya itu hanya mimpi. Sebab itu saat Pepera, GKI di tanah Papua lebih banyak membangun komunikasi dengan tokohtokoh nasional seperti TB Simatupang dan dengan lembaga DGI dalam rangka turut melihat persoala riil Papua saat itu. Kini, Pendeta Mesakh mengisi masa pensiiunnya dengan menikmati hari-hari lanjut usianya.Â
Tetapi mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa ia adalah salah seorang pendiri klub sepakbola terkenal di Indonesia yang sudah lima kali menjuarai Liga I PSSI, yaitu PERSIPURA. Maka di usia senjanya ini ia memuaskan diri dengan dunia sepak bola, sebagai bagian pembinaan mental spiritual anak-anak muda di tanah Papua.Â
Hatinya sangat bersyukur, saat menerima Kartu Ucapan Selamat Natal dari Letjen TNI Doni Monardo, Sesjen Wantanas RI pada Desember 2018 yang lalu. "O, itu seperti berkat yang tidak terduga. Sudah lama saya tidak dikunjungi orang pemerintah, sejak zaman Soekarno. Namun tiba-tiba saja ada Kartu Natal dari seorang Letnan Jenderal.Â
Saya bersuka sekali menerimanya. Ternyata beliau itu orang yang sangat merangkul, sehingga saya merasa perjuangan saya dahulu itu berarti bagi bangsa ini. dan ini harus disadari oleh semua Pendeta di tanah Papua", tuturnya.
Peran Gereja Untuk Mensejahterahkan Masyarakat Papua
Di akhir perjumpaan Tim Wantanas bersama kedua Pendeta ini, di rumah mereka masing-masing, ada satu catatan refleksi kritis yang sama dari keduanya tentang peran gereja-gereja di tanah Papua untuk mensejahterahkan masyarakat. Menurut Pendeta Wem, gereja terkesan tidak ikut dalam pembangunan, jika hanya berdoa saja tanpa melakukan langkah-langkah konkrit.Â
Pernyataan ini bagi kami menegaskan bahwa, ia berharap gereja-gereja di tanah Papua menjadikan isu kesejahteraan sebagai bagian dari masalah sekaligus panggilan teologinya. Jemaat harus disadarkan untuk bekerja di alam/lingkungannya sendiri yang sangat kaya ini. Hampir senada dengan itu, Pendeta Mesakh, selaku orang yang berperan dalam masa-masa awal penyatuan Papua ke dalam Negara Indonesia,, menegaskan gereja jangan berpikir tentang Papua Merdeka.Â
Sebaliknya gereja harus berperan agar injil diberitakan secara benar. Maka yang harus diutamakan adalah melakukan pembinaan moral dan etika terutama kepada anak-anak muda. Gereja tidak boleh bicara politik. Tetapi gereja harus mengetahui bahwa politik itu adalah alat untuk melayani agar dapat membawa keadilan dan perdamaian.Â
Dua catatan kritis ini kiranya penting direnungi secara bersama oleh gereja-gereja di tanah Papua agar ada korelasi secara sinergis antara program pensejahteraan rakyat dari gereja dengan stakeholder lain, termasuk melalui kebijakan-kebijakan strategis Wantanas RI yang sedang berlangsung saat ini di tanah Papua. Mereka berharap langkah-langkah yang ditempuh Sesjen Wantanas, Letjen TNI Doni Monardo, menjadi bagian dari cara penyelesaian masalah papua secara holistik.
Jayapura, 9 Januari 2019Â
Kontributor: Pdt. Dr. John Ruhulessin, M.SiÂ
Penulis : Pdt. Elifas Tiomix MaspaitellaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H